Sekolah Jurnalisme Official Website | Members Area : Register | Sign in

Senin, 09 Mei 2011

Sekolah Jurnalisme

SEKOLAH JURNALISME didirikan untuk mengembangkan dunia jurnalisme yang bertanggung jawab berlandaskan pada profesionalisme kerja.

Pendirian berawal dari keprihatinan terhadap rendahnya tingkat pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap masalah-masalah jurnalisme, seolah-olah jurnalisme hanya domain kalangan pekerja pers.

Jurnalisme domain semua lapisan masyarakat dalam semangat demokrasi. Setiap orang harus memahami jurnalisme agar prinsip-prinsip kerja jurnalisme bisa diaflikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan begitu, masyarakat akan lebih memahami realitas-realitas yang terjadi di lingkungannya.

Dengan memahami realitas, masyarakat dapat memainkan peran penting sebagai stake holder dari realitas tersebut.


SEKOLAH JURNALISME ONLINE membantu mewujudkan keinginan Anda menjadi penulis dengan mengikuti Pelatihan Penulisan. Kami menjaminan karya Anda dapat diterbitkan di koran/jurnal/majalah, dan dalam bentuk buku. Anda bisa mengikuti pelatihan tanpa harus ke luar rumah, tanpa harus meninggalkan aktivitas lain.


Baca


Sabtu, 30 April 2011

Menulis Advertorial

ADVERTORIAL media cetak merupakan tulisan tentang suatu produk barang maupun jasa yang dipublikasikan di media cetak. Setiap pengelola media cetak memberi tajuk yang khas tentang tulisan jenis ini. Ada yang memakai tajuk Infotorial, Society, Beritatorial, Advertorial, Market, Iklan, Advertising, dan lain sebagainya. 

Semua tajuk itu bermakna satu, yaitu tulisan yang menceritakan secara rinci mengenai keunggulan, kelebihan, dan manfaat suatu produk barang atau jasa, sehingga calon kunsumen sangat tertarik untuk mengonsumsi atau menjadi usernya.

Advertorial adalah iklan. Iklan merupakan sumber utama bagi pengelola manajemen media massa. Sebagai iklan, penyiaran advertorial sangat tergantung pada dana. Dana itu dikeluarkan oleh si pemasang advertorial, layaknya pemasang iklan harus mengeluarkan dana untuk memasang iklan produk barang maupun jasa.

Advertorial muncul untuk menyiasati kejenuhan pembaca terhadap iklan-iklan tradisional yang lebih mengesankan menggurui calon konsumen. Sebab itu, tulisan advertorial harus dibuat menarik sehingga pembaca tertarik untuk membacanya.

Koran Tempo, misalnya, menyajikan advertorial yang menarik dan kaya akan pengetahuan baru seperti advertorial terkait pemerintah daerah. Advertorial yang penulisannya sangat bagus sering tidak bisa dibedakan dengan berita pada umumnya. Tapi, advertorial selalu akan menerakan kata “advertorial”. Ini wajib dilakukan para pengelola media cetak agar pembaca tidak merasa dibohongi.

Tempat advertorial bisa di halaman mana saja. Harian Umum Tribun Lampung menyajikan advertorial di halaman depan setiap hari, di kolom satu dan dua bagian bawah. Bagi yang tidak terbiasa akan mengira advertorial itu sebagai berita jenis feature karena isinya mengisahkan tentang pengalaman seseorang setelah menjadi konsumen suatu produk.

Sebagai iklan, advertorial memiliki tarif yang lebih rendah disbanding iklan-iklan formal lainnya. Hal ini dilakukan para pengelola media ceytak sebai service, meskipun kemudian advertorial belakangan menjadi iklan yang sangat favorit dan sumber utama penghasilan pengelola media cetak.

Bagaimana Menulis Advertorial

Advertorial biasanya menjadi tanggung jawab pengelola media. Di setiap manajemen media cetak (tidak selamanya, memang), ada bagian yang khusus menulis advertorial. Tapi, para pemasang advertorial biasanya kurang begitu yakin kepada penulis-penulis advertorial milik manajemen media cetak. Para penulis advertorial acap mengenakan biaya (cash) untuk penulisan advertorial sehingga menambah biaya. Sebab itu, para pemasang advertorial sering menulis sendiri teks advertorialnya.

Menulis advertorial tak semudah yang dibayangkan. Saat menulis advertorial tetap ada kaidah jurnalisme yang harus dihormati. 

Kenapa? Bukankah advertorial hanya membeberkan hal-hal yang bagus dan menghindari hal-hal yang buruk?

Ya, memang. Tapi, sekali lagi, advertorial adalah iklan. Hanya, berbeda dengan iklan display, advertorial terkesan sebagai suatu berita.

Advertorial lebih cocok menjadi bagian dari aktifitas below the line. Seperti target yang ingin diraih oleh kehumasan, dalam artikel sebanyak 3500 karakter, klien mencoba membangun kesadaran merek (brand awareness), citra merek, citra perusahaan (corporate image), atau menyajikan informasi agar pembaca lebih mengenal produk atau jasa yang mereka tawarkan.

Tulisan advertorial ditulis dengan azas positive thinking. Tapi, jangan membuat tulisan yang superlative.

Dalam penulisan advertorial tetap mengusung konsep 5W + 1 H seperti pembuatan berita. 5 W = Who (siapa), What (apa), Where (di mana/lokasi), When (kapan), dan Why (kenapa). Ditambah 1 H sebagai how (bagaimana).
Baca


Jumat, 28 Mei 2010

Buruk Visi Media dalam Pilkada Kota Bandar Lampung

Para pengelola media di Indonesia tentu berpikir dan berkeyakinan, institusi media (termasuk yang dikelolanya dalam sebuah lingkungan korporat yang menggurita) memiliki catatan sejarah yang panjang untuk memainkan peran besar dalam mengubah indek keyakinan publik (Consumer Confidence Index/CCI) atas suatu pendapat umum. Para pengelola media di Lampung, tentu juga tidak ingin tertinggal jauh di belakang dalam peredaran siklus bisnis penyajian informasi dunia, memahi betul sejarah panjang yang menempatkan institusi media sebagai alat perjuangan kemerdekaan yang bertugas mengubah keyakinan publik atas suatu pendapat umum.

Oleh Budi P. Hatees

Hidup para pengelola media saat ini seperti dalam bingkai sejarah yang melahirkan sebuah film berjudul Enemy of The Gate pada tahun 2001. Film genre thiller yang berlatar sejarah perang antara Nazi Jerman dengan Uni Soviet di Stalingrad pada musim semi tahun 1942 ini, mengisahkan tentang propaganda politik (
psyward) Uni Soviet untuk menghindarkan jatuhnya Kota Stalingrad ke tangan Jerman. Jika kota itu jatuh, Uni Soviet bisa runtuh.

Dalam keadaan tertekan dan demoralisasi, muncul ide melahirkan seorang pahlawan (harapan baru) bagi publik. Vassili Zaitsev, prajurit rendah, direkrut Commisar Danilov menjadi penembak jitu. Vassili ditugaskan menembak para perwira Nazi Jerman. Pilihan Danilov ternyata tidak keliru karena Vassili memang berhasil membunuh sederat perwira Jerman. 

Bukan betapa jitunya Vassili yang menarik, tetapi publikasi yang digerakkan Danilov sehingga membangkitkan harapan dalam hati para tentara Soviet untuk mengusir Jerman keluar dari Stalingrad, bahkan dari tanah airnya. Setiap kali membunuh perwira Nazi, Vassili dijadikan
headline sebuah koran yang sengaja diterbitkan. Vassili kemudian menjadi menakutkan bagi perwira Nazi, menjadi target utama, dan menjadi kebanggaan semua orang Jerman.

Kutipan ini bukan resensi film tersebut, tetapi suatu upaya untuk menunjukkan bahwa efek media luar biasa untuk membangun opini publik dan harapan publik, juga mengubah semuanya menjadi lebih baik atau lebih buruk. Media adalah alat yang paling tepat untuk melakukan perubahan sekaligus penghancuran. 

Lantas, dimana posisi pengelola media beserta media-media mereka yang ada di Lampung, terutama dalam menyajikan berita-berita politik? Apakah media-media yang kita baca itu merupakan agent of change atau sebaliknya agent of degradation dengan nilai toksisitas (toxicity) yang pekat.

Setelah runtuhnya Orde Baru, 
Consumer Confidence Index(CCI) publik terhadap media sangat tinggi. Media diharapkan mampu memutus rantai-rantai ketidakbebasan yang masih mengikat para new-Orba, lalu tampil sebagai agent of change untuk membangun filosofi sebuah kosmologi baru yang di dalamnya kehidupan manusia diikat oleh nilai-nilai demokrasi. Tapi, keyakinan itu segera runtuh manakala para penganut paham Orde Baru mulai membangun new-Orba dengan menguasai jaringan-jaringan informasi yang bermuara pada kanal-kanal informasi dimana media senantiasa berkubang untuk mengaksesnya, lalu satu per satu institusi media diambil alih dalam sebuah proses jual-beli saham yang menggiurkan para pengelola media.

Kondisi krisis keuangan pasca 1997 memaksa pengelola media untuk mencari sumber-sumber pembiayaan untuk mengelola institusinya, lalu menemukan celah-celah sempit di dalam kekayaan para new-Orba. Satu per satu institusi media di negeri ini menjadi milik mereka yang punya jalur-jalur khusus untuk terus berhubungan dengan penguasa Orba seperti Majalah Forum Keadilan dibeli mantan tentara yang merupakan boneka Cendana, dan lain sebagainya. 

Institusi media pasca Orba adalah institusi media new Orba. Di era kapitalisme saat ini, ketika industri-industri transglobal mampu membangun sebuah kampung global (
the global village) seperti anjuran Marshall Mc.Luhan, kapitalis media dunia membangun jaringan-jaringan bisnis yang kental dengan raja-raja media di Indonesia untuk menjadi satu-satunya sumber informasi bagi publik. Raja-raja media di Indonesia yang kemudian mempelajari betapa luar biasanya menjadi penguasa atas opini publik, kemudian membentuk jaringan pemberitaan (media linked) di daerah yang akhirnya memosisikan para pemilik media itu sebagai newsmaker. 

Para pengelola, raja-raja berita itu, kini bertarung sesama mereka bukan pada urusan bagaimana menjaga CCI publik atas isi media mereka, tetapi bertempur untuk meyakinkan pemegang kekuasaan politik negara bahwa mereka memiliki sebuah jaringan pemberitaan yang bisa dimanfaatkan negara untuk mengkampanyekan ide-ide politik ke seantero jagat Republik Indonesia. Ketika pemilik media kemudian menjadi menteri dalam kabinet penguasa, atau malah diberi tanggung jawab mengelola BUMN, tak lain karena penguasaannya yang luar biasa atas sumber-sumber informasi. 

Dalam situasi yang kait-berkait antara kepentingan politik dengan CCI publik, yang diinginkan pengelola media dalam pemberitaan politik tak lain adalah untuk memperkokoh kekuasaan politik. Jika di luar negeri pengelola media baru akan menyatakan mendukung seorang calon presiden setelah melakukan survei yang panjang dan melelahkan, maka media di Indonesia (juga Lampung) tak akan seterbuka itu untuk menyatakan dukungannya terhadap presiden maupun kepala daerah. Dukungan pengelola media hanya terjalin dalam sebuah lingkungan tanpa saksi (main mata), yang lebih menunjukkan ketidakberanian untuk menentukan sikap dalam sekian banyak sikap di dunia politik.

Ini disebut dukungan cari selamat. Dukungan semacam ini hanya dilakukan oleh pengelola media yang siaftnya sementara, tergantung arah arus politik. Kondisi ini karena pengalaman sejarah di masa lalu menunjukkan keberpihak media terhadap kekuasaan telah menjebak para pengelola media menjadi tahanan-tahanan politik yang dicitrakan sebagai 
enemy of the nation. Pengelola media Bintang Timur, misalnya, harus disebut komunis. 

Semua terjadi karena sesungguh pengelola media tidak sedang berpikir tentang CCI publik. Mereka berpikir tentang bisnis dan masa depan bisnisnya. 

Penelitian lembaga Zurich-Media Tenor, yang disampaikan pada pertemuan ilmiah internasional "Koneksi Transnasional" di Spanyol, pola seleksi berita dan perkembangan sosial politik oleh sejumlah media dunia membantu erosi dalam diri publik terhadap demokrasi. Kondisi ini ditandai dengan menurunnya partisipasi publik dalam kegiatan demokrasi seperti Pemilihan Umum (Pilkada).

Analisis itu berhasil menemukan penyebabnya:

1.       Pengelola media dalam memilih berita memiliki kemapanan yang dipakai olehy pengelola media dimana pun, dan mereka puas dengan cara itu meskipun tak membawa pencerahan bagi publik.

2.       Isu-isu kontroversial selalu disajikan dengan cara yang sama, berfokus pada aspek-aspek yang sama dan protagonis yang sama.

3.       Soal legislatif, media cenderung memosikan anggota legislatif sebagai anggota legislatif di dalam pemberitaan, tetapi mengabaikanfungsi legislatif yang inheren dengan setiap individu anggotanya.

4.       Hampir tidak ada jurnalis yang akan menulis berita mempertentangkan ide-ide politik seorang politisi dengan politisi laini. Ketika pihak A menyajikan proposisi politik baru, pengelola media akan mengutif B, C, dan D dengan hanya menyajikan komentar negatif mereka. Negativisme sistematis ini mengarah pasti kepada orang-orang berpaling dari sistem demokrasi.


Sebuah analisis atas ribuan judul berita tentang kampanye pemilu AS 2004 yang disajikan Media Tenor di bawah judul “Will Democracy Survive the Media”, menunjukkan tidak ada perbaikan dalam keragaman isu atau protagonis yang disajikan dalam cakupan politik. "Demokrasi tergantung pada perubahan", kata Roland Schatz, Editor-in-Chief Media Teno. "Bila alternatif bahkan tidak disajikan sebagai pilihan untuk refleksi, maka orang berpaling. Hal ini tidak hanya berlaku untuk program TV, tapi untuk konsep dasar demokrasi - seperti yang jelas terlihat dari data terbaru tentang partisipasi pemilih ". 

Kondisi hampir sama juga kita temukan dalam pemberitaan politik sekaitan dengan Pilkada Kota Bandar Lampung. Seperti ungkapan Roland Schatz, maka wajar jika publik tidak berpartisipasi dalam Pilkada. Pilkada Walikota Bandar Lampung akan dimenangi golongan putih.

Ide dan gagasan politik setiap calon yang muncul dalam berita, sangat universal dan tidak bisa menjadi alternatif dari sulitnya hidup di zaman sekarang. Ini disebabkan pengelola media hanya menempatkan para calon kepala daerah sebagai "narasumber" segala hal, tetapi tidak menunjukkan keberpihak (pilihan) atas siapa yang harus didukung oleh publik untuk menjadi Walikota Bandarlampugn periode 2010--2015. 

Semua calon Walikota Bandar Lampung di mata pengelola media hanya "alat bayar", "sumber uang", dan bukan figur pemimpin yang diupayakan agar menjadi pemimpin dengan harapan sosoknya bisa mengubah situasi Kota Bandarlampung sehingga menguntungkan semua pihak termasuk pebisnis media.
 The Washtington Post memutuskan mendukung Obamma karena melihat sosok Obamma akan mampu menciptakan situasi ekonomi yang bagus bagi masa depan AS dan itu menguntungkan bisnis mereka. 

Pilihan media adalah pilihan publik. Pilihan publik tergantung pilihan media.

Baca


Senin, 17 Mei 2010

Mogok Wartawan The Times dan Koran Jakarta

Wartawan di Indonesia, kebanyakan dan hampir selalu menerima apa pun keputusan para bos mereka, kendati itu menyangkut nasib dan kesejahteraan mereka. Itu berbeda dengan yang dilakukan para wartawan di Inggris dan di Italia.

Oleh Rusdi Mathari

KETIKA pemogokan umum itu melanda London yang murung, tak seorang pun karyawan surat kabar The Times yang ikut di dalamnya. Tak pula para wartawannya. Pemimpin surat kabar itu, dengan bangga mengatakan, semua karyawan The Times setia kepada pekerjaannya, kepada profesinya dan karena itu, mereka semua tidak ikut-ikutan dengan aksi pemogokan umum.

Hari itu di pengujung 1926, di kota-kota di Inggris, para pekerja yang marah tengah menuntut pemerintah agar tidak menutup pertambangan batubara. Aksi mereka berakhir ketika pemerintah kemudian setuju untuk meningkatkan upah mereka dan menempatkan perwakilan yang memiliki kedudukan sama kuat di manajemen pabrik.

Hingga 53 tahun kemudian, ketika hampir semua orang melupakan absennya para wartawan The Times dalam aksi mogok di tahun 1926, kejadian sebaliknya dan lebih telak justru menimpa surat kabar ternama itu: The Times berhenti terbit, setelah seluruh karyawan termasuk para wartawannya melakukan aksi mogok. Berbeda dengan pemogokan umum 1926 yang hanya berlangsung beberapa hari, pemogokan para karyawan dan wartawan The Times malah berlangsung selama hampir setahun.

Tahun itu, 1978, manajemen The Times memutuskan untuk menggunakan komputer, dan rencana itu yang ditolak karyawan. Karyawan-karyawan di bagian produksi terutama, yang pekerjaan mereka antara lain menyusun huruf-huruf sebelum koran itu naik cetak, menganggap komputer akan menggantikan profesi mereka. Tapi beberapa pengamat menyalahkan The Times, karena surat kabar itu gagal meyakikankan karyawan soal modernisasi dan sebaliknya memupuk keangkuhan profesi para karyawannya.

Banyak yang dirugikan dengan pemogokan itu, tentu saja. Namun para pembaca The Times bisa diyakinkan bahkan wartawan pun berhak menyuarakan kepentingannya setelah selalu menyuarakan kepentingan dari orang-orang tak berdaya. Tidakkah para pembaca itu juga tak bisa melakukan hal yang sama, melaporkan, menulis dan memberitakan seperti yang dilakukan para wartawan itu ketika mereka melihat ketidakadilan di sekitar mereka?

Pemogokan sebelas bulan yang dilakukan wartawan The Times, karena itu dimaklumi oleh mereka. Para wartawan dari media lain termasuk dari pesaing The Times, juga tidak mencoba menarik keuntungan dengan misalnya melamar dan menawarkan diri menggantikan posisi para wartawan yang mogok, agar koran itu bisa terbit kembali. Sebagian malah memberikan dukungan moral, yang lain mencarikan jalan keluar dan sebagainya, hingga The Times terbit kembali dan tuntutan para wartawannya dipenuhi.

Bertahun-tahun kemudian, setelah manajemen The Times menyadari kesalahannya dan lalu memperbaikinya, surat kabar itu menjadi salah satu koran terbaik di Inggris, bahkan hingga kini. Pemogokan di tahun 1978 itu efektif mengubah pola pikir manajemen The Times untuk memperlakukan wartawan dan karyawannya sebagai aset dan bukan sebagai sekrup kecil dari sebuah industri, yang hanya harus tunduk kepada keinginan para pemodal dan bos mereka.

Anak Manis

Lalu bagaimana dengan wartawan di Indonesia? Hampir tidak pernah ada kejadian seperti yang menimpa The Times, yang tidak terbit hampir setahun karena para wartawannya mogok meliput, menulis dan memberitakan. Wartawan di Indonesia, adalah wartawan-wartawan yang dikenal sebagai anak manis, yang kebanyakan dan hampir selalu menerima apa pun keputusan para bos mereka, kendati itu menyangkut nasib dan kesejahteraan mereka.

Sebagian karena berlindung di balik alasan profesional. Demi kesetiaan kepada profesi, untuk kepentingan pembaca dan sebagainya. Sebagian lagi beralasan mogok atau bokiot hanya perbuatan para buruh pabrik yang kumuh, dan bukan pekerjaan wartawan yang intelek meski diam-diam di antara mereka, berebut makan setiap kali ada undangan liputan. Ada yang menilai, mogok sebagai perbuatan kaum kiri yang genit dan wartawan bukan bagian dari kaum itu.

Wartawan lainnya mengaku tidak bisa atau menolak melakukan aksi mogok atau boikot karena kolega mereka yang bekerja di media yang sama, tidak melakukannya. Tidak ada solidaritas, katanya, seolah hanya itu syarat sebuah pemboikotan. Singkat kata, mogok dianggap tidak efektif memperjuangkan hak mereka, karena media mereka tetap akan terbit, terus tayang dan sebagainya, karena masih banyak rekan mereka yang bersedia menggantikan pekerjaan mereka, meski dengan menggerutu.

Kalau sebagian kenyataannya adalah seperti itu, lantas siapa yang akan membela para wartawan (Indonesia) ketika mereka diperlakukan tidak adil, dan pada akhirnya diberhentikan dari media tempatnya bekerja? Sumber berita, para politisi, aktivis pejuang demokrasi atau LSM-LSM itu? Tidak. Kecuali hanya menyatakan keprihatinan dan simpati, pengalaman menunjukkan, mereka semua juga selalu membisu. Hanya itu. Tidak lebih.

Orang mungkin tidak akan percaya, kejadian-kejadian menyedihkan semacam itu, benar menimpa para wartawan di Indonesia. Namun faktanya, Aliansi Jurnalis Independen atau AJI adalah satu-satunya organisasi profesi wartawan di Indonesia yang mungkin paling banyak menerima pengaduan soal perlakuan semena-mena para pemilik modal dan keangkuhan bos media kepada para wartawannya.

Mereka yang tidak mengadukan, saya percaya, jumlahnya lebih banyak lagi dengan alasan bermacam-macam.

Ada yang merasa tidak berdaya melakukan apa-apa bahkan jika itu hanya untuk menuntut pesangon. Itu terutama menimpa para wartawan dari media-media kecil, baik dari segi modal maupun pengaruh dan jangkauan edar. Menuntut bagi mereka hanya buang-buang waktu dan melelahkan.

Sebagian yang lain, merasa malu meramaikan kasus mereka dengan medianya, karena menganggap diri sebagai kumpulan orang-orang pintar, berpendidikan, dan profesional. Mereka berpikir, apa kata dunia, kalau akhirnya tahu, kumpulan-kumpulan orang hebat itu ternyata tak berdaya menghadapi keangkuhan pemilik dan pengelola media di tempatnya bekerja. Atau bisa karena alasan lainnya.

Dan atas nama semua alasan itu, mereka karena itu lebih memilih untuk tidak bersuara, sembari diam-diam mencari peluang bekerja di media lain, meloncat ke sana ke mari, setelah itu kembali dengan lantang menuliskan berita soal pemecatan yang menimpa para pekerja sebuah bank, PHK masal buruh pabrik, korupsi uang negara, atau hak-hak orang lain yang dikebiri.

Tentu, itu semua soal pilihan jika tidak mungkin disebut sebagai sebuah ironi. Wartawan yang pekerjaannya telanjur dianggap sebagai pembuka kebenaran, pembela ketidakadilan, penyuara kebebasan berpendapat, membela hak-hak kaum tertindas, ternyata hanya diam tidak melakukan apa pun, jika itu menyangkut nasib mereka. Lihat atau dengarlah kemudian, para wartawan itu dengan gagah bisa melakukan aksi boikot atau mogok untuk tidak meliput sebuah sumber, karena persoalan sepele. Misalnya karena teman mereka dianiya oleh sumber dan sebagainya. Mereka pula, bisa dengan berbagai alasan menghentikan tidak mengirimkan berita ke meja redaksi dengan alasan solidaritas, karena nasib buruk yang menimpa rekan mereka di lapangan dan sebagainya.

Permintaan Maaf

Sekali lagi, semua itu memang soal pilihan. Namun kejadian yang pernah dilakukan para wartawan The Times dan yang terbaru yang dilakukan para wartawan di Italia, mungkin bisa dijadikan bahan renungan para wartawan di sini.

Di sebuah Rabu, 20 Desember 2006, hampir seluruh wartawan media cetak, radio, televisi dan kantor berita di Italia melakukan aksi mogok tidak meliput dan memberitakan. Peristiwa yang terjadi lima hari menjelang Natal yang dingin itu, merupakan buntut dari perselisihan mereka dengan para redaktur menyangkut gaji dan kondisi kerja.

Kisahnya bermula dari masa kontrak kerja kolektif wartawan yang berakhir pada Desember 2004 dan tak diperbarui. Wartawan itu sangat marah dengan pemanfaatan secara luas pekerja, sementara dengan gaji rendah melalui kontrak jangka pendek yang dikatakan serikat pekerja mereka menghasilkan jurnalisme di bawah standar “yang tak berguna bagi demokrasi.”

Menurut para bos media dan redaktur mereka, para wartawan itu menentang keluwesan pasar tenaga kerja yang diperlukan dan berusaha berpegang pada hak istimewa yang sudah usang. Namun alasan itu belakangan terbukti mentah dan terlalu dicari-cari. Akibat dari pemogokan para wartawan itu, Perdana Menteri Romano Prodi terpaksa membatalkan taklimat akhir tahunnya.

Tanpa bermaksud meniru aksi pemogokan yang pernah dilakukan para wartawan di Italia dan juga The Times itu, kami dari tim Koran Jakarta edisi Minggu, sejak Sabtu (20 Maret) melakukan aksi mogok. Sebagai penanggungjawab edisi Minggu, saya meminta maaf kepada para pembaca, yang pada hari Minggu (21 Maret) mendapati Koran Jakarta berbeda dengan edisi-edisi Minggu sebelumnya.

Kami tidak menggarapnya.

Kami dengan menyesal melakukan itu, karena kami menganggap hanya itu yang bisa kami lakukan untuk menarik perhatian banyak pihak tentang nasib kami. Tentang kesewenang-wenangan manajemen yang memecat sejumlah rekan kami tanpa alasan yang jelas, dan juga untuk memperjuangkan kesejahteraan kami termasuk masalah kontrak kerja seperti yang menimpa para wartawan di Italia itu yang perinciannya terlalu banyak untuk diungkapkan di sini.

Kami berjanji akan menemui pembaca kembali pada Minggu 28 Maret mendatang, dengan catatan manajemen atau mungkin juga pemilik modal dari koran yang belum lagi genap berusia dua tahun itu, tidak melakukan aksi sepihak kepada kami. Sekali lagi kami memohon maaf.

Anda bisa membaca karya lain di Blog Rusdi Matari
Baca


Minggu, 16 Mei 2010

Jurnalisme Franchise

1


SAAT sedang menemani seorang teman menikmati menu makan siang di sebuai gerai di Kota Bandar Lampung, secara mendadak saya berpikir keras tentang gerai itu. Ia hanya menawarkan satu menu: ayam goreng. Saya tak begitu suka menu ini dan tak akan bicara soal ayam goreng. Tapi, untuk orang seperti saya, gerai itu menyajikan sajian khusus: cappuchino. Minuman ini pun membuat saya berpikir keras. Kesimpulan dari yang saya pikirkan cuma satu: franchise.

Sebagian besar makanan dan minuman moderen yang kita nikmati hari ini diproduksi oleh mesin kuliner kapitalis dunia. Walapun sesungguhnya yang diproduksi mesin itu cuma merek, brand, imagi, dan kebudayaan. Tanpa kita sadari, manakala kita menikmatinya, lidah orang Indoinesia (Batak, Lampung, Jawa, Ambon, Bali, Padang, Palembang, Sumbawa, dan lain sebagainya) berubah menjadi lidah manusia global.

Tidak ada lagi yang khas pada lidah orang Indonesia. Rasa cabai kemudian hambar, jauh lebih enak saus. Makan ayam goreng (meskipun bukan di gerai franchise) akan terasa lebih nikmat jika dicocol ke saus cabai atau saus tomat. Padahal saus itu tidak murni cabai atau tomat. Saya menjadi teringat sebuah adegan yang pernah saya saksikan di sebuah acara bertajuk Jambore Anak Indonesia. Ketika pemandu acara bertanya kepada seorang anak tentang dari mana asal telur ayam, si anak menjawab: “Dari supermarket.”

Anak itu jelas bodoh. Karena telur ayam dihasilkan oleh seekor ayam. Tapi, sesungguhnya, kitalah yang bodoh. Setiap saat kita mengajak anak-anak mencari telur ayam di supermarket. Kita tidak pernah memberi tahu bagaimana telur ayam bisa ada di supermarket, karena kita tidak menyukai proses. Kita adalah warga dari sebuah bangsa yang lebih menyukai hasil.

2

Pembukaan tulisan ini berkaitan erat dengan jurnalisme franchaise. Barangkali sudah pernah ada yang mengungkapkan terminologi ini.

Pada satu sisi, jurnalisme franchise adalah jurnalisme yang mengandalkan jaringan pemberitaan yang dibentuk oleh industri pers dalam rangka memasok kebutuhan berita untuk media-media yang ada dalam jaringan pemberitaannya. Pada sisi lain, jurnalisme franchise bisa dipahami sebagai industri media yang didirikan seorang pengusaha setelah mengantongi brand sebuah perusahaan penerbitan pers.

Seperti cappuchino, brand perusahaan pers itu kemudian menghasilkan banyak industri media dengan nama yang sama di berbagai daerah (negara).

Di Indonesia, di era 2000-an, kita mengenal pengusaha Indonesia yang membeli brand majalah-majalah terbitan luar negeri. Kehadiran majalah-majalah dengan brand internasional itu “mematikan” majalah senafas yang ada di negeri ini. Sebut saja majalah Play Boy, Gogirls, Design, Elle, Cosmopolitan, Vague, PC Plus, Home, Cosmo Girl, Rolling Stone, dan lain sebagainya.

Majalah-majalah ini lebih membutuhkan penerjemah daripada seorang wartawan. Isi majalah-majalah itu menerjemahkan semua isi dari bahasa asli majalah tersebut. Memang, sebagian ada penambahan dengan konten khas Indonesia. Tapi, tentu, dengan jiwa dan subtansi yang khas majalah tersebut.

Sulit membayangkan jika fenomena seperti ini berkembang juga di daerah. Para pemilik modal membeli brand industri penerbitan dunia, lalu menerbitkan edisi berbahasa Indonesia dengan konten yang tak Indonesia. Bukan mustahil suatu saat akan terjadi.

Bukankah sudah ada tanda-tanda ke arah itu ketika industri media di daerah (Lampung) dihidupkan oleh semangat branding media nasional. Kehadiran jaringan-jaringan pemberitaan seperti MNC, JPNN, Persda Kompas, dan MI Grup. Dampak yang paling nyata, konten pemberitaan lokal semakin berkurang. Informasi yang disajikan industri pers itu sebagian besar konten nasional, sehingga kebutuhan informasi publik menjadi tak tercukupi.

Publik di daerah dipersiapkan industri pers kita sebagai pengunyah informasi nasional, sehingga abai terhadap kondisi di lingkungannya sendiri. Publik di daerah menjadi lebih paham persoalan-persoalan nasional, dan agak buta terhadap persoalan-persoalan di daerahnya. Sebagai contoh, ketika DPP Partai Golkar bermain politik di tingkat nasional, publik tidak paham apakah DPD Partai Golkar ikut bermain atau sudah inklud dengan DPP Partai Golkar.

Baca