1
SAAT sedang menemani seorang teman menikmati menu makan siang di sebuai gerai di Kota Bandar Lampung, secara mendadak saya berpikir keras tentang gerai itu. Ia hanya menawarkan satu menu: ayam goreng. Saya tak begitu suka menu ini dan tak akan bicara soal ayam goreng. Tapi, untuk orang seperti saya, gerai itu menyajikan sajian khusus: cappuchino. Minuman ini pun membuat saya berpikir keras. Kesimpulan dari yang saya pikirkan cuma satu: franchise.
Sebagian besar makanan dan minuman moderen yang kita nikmati hari ini diproduksi oleh mesin kuliner kapitalis dunia. Walapun sesungguhnya yang diproduksi mesin itu cuma merek, brand, imagi, dan kebudayaan. Tanpa kita sadari, manakala kita menikmatinya, lidah orang Indoinesia (Batak, Lampung, Jawa, Ambon, Bali, Padang, Palembang, Sumbawa, dan lain sebagainya) berubah menjadi lidah manusia global.
Tidak ada lagi yang khas pada lidah orang Indonesia. Rasa cabai kemudian hambar, jauh lebih enak saus. Makan ayam goreng (meskipun bukan di gerai franchise) akan terasa lebih nikmat jika dicocol ke saus cabai atau saus tomat. Padahal saus itu tidak murni cabai atau tomat. Saya menjadi teringat sebuah adegan yang pernah saya saksikan di sebuah acara bertajuk Jambore Anak Indonesia. Ketika pemandu acara bertanya kepada seorang anak tentang dari mana asal telur ayam, si anak menjawab: “Dari supermarket.”
Anak itu jelas bodoh. Karena telur ayam dihasilkan oleh seekor ayam. Tapi, sesungguhnya, kitalah yang bodoh. Setiap saat kita mengajak anak-anak mencari telur ayam di supermarket. Kita tidak pernah memberi tahu bagaimana telur ayam bisa ada di supermarket, karena kita tidak menyukai proses. Kita adalah warga dari sebuah bangsa yang lebih menyukai hasil.
Pembukaan tulisan ini berkaitan erat dengan jurnalisme franchaise. Barangkali sudah pernah ada yang mengungkapkan terminologi ini.
Pada satu sisi, jurnalisme franchise adalah jurnalisme yang mengandalkan jaringan pemberitaan yang dibentuk oleh industri pers dalam rangka memasok kebutuhan berita untuk media-media yang ada dalam jaringan pemberitaannya. Pada sisi lain, jurnalisme franchise bisa dipahami sebagai industri media yang didirikan seorang pengusaha setelah mengantongi brand sebuah perusahaan penerbitan pers.
Seperti cappuchino, brand perusahaan pers itu kemudian menghasilkan banyak industri media dengan nama yang sama di berbagai daerah (negara).
Di Indonesia, di era 2000-an, kita mengenal pengusaha Indonesia yang membeli brand majalah-majalah terbitan luar negeri. Kehadiran majalah-majalah dengan brand internasional itu “mematikan” majalah senafas yang ada di negeri ini. Sebut saja majalah Play Boy, Gogirls, Design, Elle, Cosmopolitan, Vague, PC Plus, Home, Cosmo Girl, Rolling Stone, dan lain sebagainya.
Majalah-majalah ini lebih membutuhkan penerjemah daripada seorang wartawan. Isi majalah-majalah itu menerjemahkan semua isi dari bahasa asli majalah tersebut. Memang, sebagian ada penambahan dengan konten khas Indonesia. Tapi, tentu, dengan jiwa dan subtansi yang khas majalah tersebut.
Sulit membayangkan jika fenomena seperti ini berkembang juga di daerah. Para pemilik modal membeli brand industri penerbitan dunia, lalu menerbitkan edisi berbahasa Indonesia dengan konten yang tak Indonesia. Bukan mustahil suatu saat akan terjadi.
Bukankah sudah ada tanda-tanda ke arah itu ketika industri media di daerah (Lampung) dihidupkan oleh semangat branding media nasional. Kehadiran jaringan-jaringan pemberitaan seperti MNC, JPNN, Persda Kompas, dan MI Grup. Dampak yang paling nyata, konten pemberitaan lokal semakin berkurang. Informasi yang disajikan industri pers itu sebagian besar konten nasional, sehingga kebutuhan informasi publik menjadi tak tercukupi.
Publik di daerah dipersiapkan industri pers kita sebagai pengunyah informasi nasional, sehingga abai terhadap kondisi di lingkungannya sendiri. Publik di daerah menjadi lebih paham persoalan-persoalan nasional, dan agak buta terhadap persoalan-persoalan di daerahnya. Sebagai contoh, ketika DPP Partai Golkar bermain politik di tingkat nasional, publik tidak paham apakah DPD Partai Golkar ikut bermain atau sudah inklud dengan DPP Partai Golkar.
Tidak ada lagi yang khas pada lidah orang Indonesia. Rasa cabai kemudian hambar, jauh lebih enak saus. Makan ayam goreng (meskipun bukan di gerai franchise) akan terasa lebih nikmat jika dicocol ke saus cabai atau saus tomat. Padahal saus itu tidak murni cabai atau tomat. Saya menjadi teringat sebuah adegan yang pernah saya saksikan di sebuah acara bertajuk Jambore Anak Indonesia. Ketika pemandu acara bertanya kepada seorang anak tentang dari mana asal telur ayam, si anak menjawab: “Dari supermarket.”
Anak itu jelas bodoh. Karena telur ayam dihasilkan oleh seekor ayam. Tapi, sesungguhnya, kitalah yang bodoh. Setiap saat kita mengajak anak-anak mencari telur ayam di supermarket. Kita tidak pernah memberi tahu bagaimana telur ayam bisa ada di supermarket, karena kita tidak menyukai proses. Kita adalah warga dari sebuah bangsa yang lebih menyukai hasil.
2
Pembukaan tulisan ini berkaitan erat dengan jurnalisme franchaise. Barangkali sudah pernah ada yang mengungkapkan terminologi ini.
Pada satu sisi, jurnalisme franchise adalah jurnalisme yang mengandalkan jaringan pemberitaan yang dibentuk oleh industri pers dalam rangka memasok kebutuhan berita untuk media-media yang ada dalam jaringan pemberitaannya. Pada sisi lain, jurnalisme franchise bisa dipahami sebagai industri media yang didirikan seorang pengusaha setelah mengantongi brand sebuah perusahaan penerbitan pers.
Seperti cappuchino, brand perusahaan pers itu kemudian menghasilkan banyak industri media dengan nama yang sama di berbagai daerah (negara).
Di Indonesia, di era 2000-an, kita mengenal pengusaha Indonesia yang membeli brand majalah-majalah terbitan luar negeri. Kehadiran majalah-majalah dengan brand internasional itu “mematikan” majalah senafas yang ada di negeri ini. Sebut saja majalah Play Boy, Gogirls, Design, Elle, Cosmopolitan, Vague, PC Plus, Home, Cosmo Girl, Rolling Stone, dan lain sebagainya.
Majalah-majalah ini lebih membutuhkan penerjemah daripada seorang wartawan. Isi majalah-majalah itu menerjemahkan semua isi dari bahasa asli majalah tersebut. Memang, sebagian ada penambahan dengan konten khas Indonesia. Tapi, tentu, dengan jiwa dan subtansi yang khas majalah tersebut.
Sulit membayangkan jika fenomena seperti ini berkembang juga di daerah. Para pemilik modal membeli brand industri penerbitan dunia, lalu menerbitkan edisi berbahasa Indonesia dengan konten yang tak Indonesia. Bukan mustahil suatu saat akan terjadi.
Bukankah sudah ada tanda-tanda ke arah itu ketika industri media di daerah (Lampung) dihidupkan oleh semangat branding media nasional. Kehadiran jaringan-jaringan pemberitaan seperti MNC, JPNN, Persda Kompas, dan MI Grup. Dampak yang paling nyata, konten pemberitaan lokal semakin berkurang. Informasi yang disajikan industri pers itu sebagian besar konten nasional, sehingga kebutuhan informasi publik menjadi tak tercukupi.
Publik di daerah dipersiapkan industri pers kita sebagai pengunyah informasi nasional, sehingga abai terhadap kondisi di lingkungannya sendiri. Publik di daerah menjadi lebih paham persoalan-persoalan nasional, dan agak buta terhadap persoalan-persoalan di daerahnya. Sebagai contoh, ketika DPP Partai Golkar bermain politik di tingkat nasional, publik tidak paham apakah DPD Partai Golkar ikut bermain atau sudah inklud dengan DPP Partai Golkar.
0 Comments:
Posting Komentar