AWAL Mei 2010 di Universitas Lampung, di hadapan mahasiswa dari lingkungan BEM se-Indonesia, saya ditanya seorang peserta perihal “demokratisasi pemberitaan” media massa di negeri ini. Pertanyaan itu diajukan setelah saya menarasikan cara mendisain isu dan bagaimana pula media massa melakukannya.
Sebelum menjawab pertanyaan, saya tak banyak menjelaskan tentang mendisain isu itu. Saya cuma mengutif serbasedikit teori komunikasi yang diperkenal Harold D. Laswell (teori ini kemudian diformulasikan orang lain menjadi formula 5W + 1 H), teori diffusi dan innovasi yang diperkenalkan Marshall Mc Luhan dana Undrestanding Media, teori agenda setiing dari McCommb, dan analisis wacana yang acap dipakai dalam menganalisis wacana.
Saya menekankan pada soal agenda seting. Saya bilang bahwa media massa punya agenda sendiri dengan menerbitkan sebuah berita, lalu diupayakan menjadi agenda pembaca. Tapi, tidak semua pengelola media berhasil melakukannya. Bahkan, TVOne terjebak sendiri di dalamnya setelah membangun agenda TVOne dengan cara menciptakan sumber palsu.
Pengelola media terjebak dan terperosok oleh ulahnya sendiri (agenda media), bukan cuma terjadi di Indonesia.
Sebutlah Janet Cooke. Jurnalis yang berkarier di The Washington Post ini mengagetkan public Amerika Serikat pada 1981. Bukan cuma karena pada tahun itu ia menerima Pulitzer Prize, penghargaan yang diidamkan semua jurnalis, tetapi karena ia mengakui karya jurnalismenya berjudul “Jimmy’s World” yang dinobatkan sebagai penerima hadiah itu ternyata fiktif belaka.
Jimmy, tokoh yang diceritakan dalam feature sepanjang 18.000 karakter yang dipublikasikan di halaman depan The Washington Post pada 29 September 1980 (bersambung ke halaman dalam) itu, ternyata rekaan. Dengan sendirinya kisah hidup Jimmy yang mengharukan karena menjadi pemakai narkoba pada usia 8 tahun dan bercita-cita menjadi bandar narkoba yang sukses, juga rekaan.
Para jurnalis dunia kaget dan sangat terpukul dengan kejadian itu. Bagaimana mungkin The Washington Post terperdayai oleh sebuah cerita rekaan yang digarap dengan tingkat keseriusan luar biasa dari seorang penipu? Jika dilihat dari reputasi The Washington Post, mustahil hal seperti ini terjadi.
Para pengamat media pun menyikapi bahwa ini bukan cuma kesalahan Cooke, tetapi juga para pengambil keputusan di The Washington Post yang kurang control.
Bukan itu saja, panitia The Pulitzer Prize pun sangat terpukul. Penghargaan atas karya jurnalistik yang ternyata karya muslihat jurnalisme (deception in journalism) itu, meninggalkan coreng pada kredibilitas beberapa juri.
Periode itu ditandai sebagai periode terburuk dalam jurnalisme investigasi Amerika Serikat, sebuah situasi yang bertolak dari prestasi jurnalis Amerika Serikat dalam investigasi Watergate.
2
Kembali kepada pertanyaan mahasiswa tentang “demokrasi pemberitaan” media massa.
Dalam banyak hal, sejak reformasi bergulir, rakyat kita mengalami euforia demokrasi. Segala sesuatu harus demokratis. Jika tidak, apapun akan dilakukan untuk mewujudkannya. Dalam hal penyajian media massa, soal demokrasi pemberitaan itu menjadi subtansial. Jika tidak, masyarakat akan membuat vonis yang telak, yakni “menolak membaca media massa itu”.
Pertanyaan mahasiswa itu seperti ini. “Dalam berita Pilkada, kenapa tidak semua calon muncul. Yang muncul justru calon-calon yang mau memasang iklan.”
Tentu, jika dikaitkan dengan iklan, jawaban jelas: “pengelola media akan maju tak gentar membela yang bayar”. Siapa calon kepala daerah yang memasang iklan, sangat pasti frekuensinya untuk muncul dalam pemberitaan akan lebih tinggi. Selain karena pengelola media massa memfokuskan perhatian kepada calon pemasang iklan dengan menugaskan wartawan tertentu untuk memantau semua kegiatan kampanye politik, juga karena institusi media adalah institusi bisnis yang menjalankan bisnisnya dengan kesadaran penuh untuk menyervis klien.
Servis dalam bisnis media massa bentuknya berupa pemberitaan. Meskipun ini pikiran yang keliru, tetapi pemasang iklan akan merasa tersanjung. Maksudnya, tanpa memasang iklan semestinya pengelola media tetap memberitakan dengan porsi yang sama. Tapi, akibat para pemasang iklan tidak pernah berusaha memahami bisnis media massa, mereka pun menganggap pemberitaan sebagai servis.
Pemberitaan media bukan servis, tetapi menjadi subtansial dari kegiatan media. Jangan pernah memuji pemberitaan media dan merasa tersanjung hanya karena berita tentang Anda dibuat sedemikian bagus. Anda harus berpikir ulang, bahwa media massa sesungguhnya tidak sedang bicara apa adanya.
Media massa bukan hanya soal pemberitaan dan berita (informasi). Media massa berkaitan erat dengan komunikasi. Dan komunikasi bukan hanya informasi. Komunikasi adalah faktor yang sangat menentukan semua proses sosial dan komponen fundamental dari cara masyarakat di dalam oraganisasi sosial.
Jika media massa kita lihat sebagai persoalan komunikasi, sangatlah pasti bahwa media massa merupakan cermin masyarakatnya. Jadi, jika pengelola media massa tidak demokratis dalam pemberitaan, karena memang masyarakatnya menghendaki hal itu. Masyarakat ingin pengelola media hanya memberitakan tentang dirinya, meskipun untuk itu ia rela mengeluarkan sejumlah uang.
Sampai di sini, bisa kita tolak adagium bahwa media massa punya publik. Itu cuma bahasa para pengelola media untuk mendekatkan diri dengan masyarakat pembaca, meskipun isi pemberitaannya selalu menjauh dari realitas masyarakat pembacanya. Bagaimana mungkin media yang terbit di Lampung, misalnya, ternyata 80% pemberitaannya tentang hal-hal di lau Lampung? Dimana letak kepentingan publik dan penghargaan terhadap publik Lampung?
Jadi, media massa tidak akan bisa demokratis. Sebab itu, jangan bermimpi mengharapkan media massa akan membela masyarakat pembacanya. Masyarakat pembaca (yang juga membeli media massa) juga tidak akan dibela. Pengelola media massa hanya akan membela masyarakat yang mau membayar iklan.
3
Sebab itu, yang terpenting bukan mengharapkan media massa berikap demokratis. Tapi, bagaimana cara memanfaatkan media massa, membuat para reporter di lapangan tertarik dan berminat untuk memberitakan tanpa menyadari bahwa mereka sedang dimanfaatkan. “Kasih uang pasti diberitakan,” kata sebagian orang.
Tapi itu akan berdampak buruk.
Para reporter di lapangan, tidak semuanya menguber uang, baru mencari berita. Mereka yang profesional—yang jumlahnya sangat sedikit—lebih menempatkan mengejar berita sebagai pilihan utama. Meskipun di hadapan pemimpinya, mereka akan segera ditanya: “Ada iklannya nggak?”
Meskipun begitu, pertanyaan-pertanyaan yang beraroma uang seperti itu bisa dihindari dengan cara mengelola isu. Artinya, jika media memiliki agenda media, maka publik harus bekerja seperti media. Publik harus menciptakan agenda publik, lalu dikomunikasikan menjadi agenda media. Dengan begitu, media tidak punya alasan lagi untuk tidak memberitakannya.
Contoh kecil mungkin bisa belajar dari Partai Keadilan Sejahtera. Pada saat semua pengelola media massa kekurangan berita pada hari Minggu, partai ini justru acap menggelar kegiatan pada hari Minggu. Karena tidak ada bahan berita, mau tak mau pengelola media menjadikan kegiatan PKS sebagai berita.
0 Comments:
Posting Komentar