Para pengelola media di Indonesia tentu berpikir dan berkeyakinan, institusi media (termasuk yang dikelolanya dalam sebuah lingkungan korporat yang menggurita) memiliki catatan sejarah yang panjang untuk memainkan peran besar dalam mengubah indek keyakinan publik (Consumer Confidence Index/CCI) atas suatu pendapat umum. Para pengelola media di Lampung, tentu juga tidak ingin tertinggal jauh di belakang dalam peredaran siklus bisnis penyajian informasi dunia, memahi betul sejarah panjang yang menempatkan institusi media sebagai alat perjuangan kemerdekaan yang bertugas mengubah keyakinan publik atas suatu pendapat umum.
Hidup para pengelola media saat ini seperti dalam bingkai sejarah yang melahirkan sebuah film berjudul Enemy of The Gate pada tahun 2001. Film genre thiller yang berlatar sejarah perang antara Nazi Jerman dengan Uni Soviet di Stalingrad pada musim semi tahun 1942 ini, mengisahkan tentang propaganda politik (psyward) Uni Soviet untuk menghindarkan jatuhnya Kota Stalingrad ke tangan Jerman. Jika kota itu jatuh, Uni Soviet bisa runtuh.
Dalam keadaan tertekan dan demoralisasi, muncul ide melahirkan seorang pahlawan (harapan baru) bagi publik. Vassili Zaitsev, prajurit rendah, direkrut Commisar Danilov menjadi penembak jitu. Vassili ditugaskan menembak para perwira Nazi Jerman. Pilihan Danilov ternyata tidak keliru karena Vassili memang berhasil membunuh sederat perwira Jerman.
Bukan betapa jitunya Vassili yang menarik, tetapi publikasi yang digerakkan Danilov sehingga membangkitkan harapan dalam hati para tentara Soviet untuk mengusir Jerman keluar dari Stalingrad, bahkan dari tanah airnya. Setiap kali membunuh perwira Nazi, Vassili dijadikanheadline sebuah koran yang sengaja diterbitkan. Vassili kemudian menjadi menakutkan bagi perwira Nazi, menjadi target utama, dan menjadi kebanggaan semua orang Jerman.
Kutipan ini bukan resensi film tersebut, tetapi suatu upaya untuk menunjukkan bahwa efek media luar biasa untuk membangun opini publik dan harapan publik, juga mengubah semuanya menjadi lebih baik atau lebih buruk. Media adalah alat yang paling tepat untuk melakukan perubahan sekaligus penghancuran.
Lantas, dimana posisi pengelola media beserta media-media mereka yang ada di Lampung, terutama dalam menyajikan berita-berita politik? Apakah media-media yang kita baca itu merupakan agent of change atau sebaliknya agent of degradation dengan nilai toksisitas (toxicity) yang pekat.
Setelah runtuhnya Orde Baru, Consumer Confidence Index(CCI) publik terhadap media sangat tinggi. Media diharapkan mampu memutus rantai-rantai ketidakbebasan yang masih mengikat para new-Orba, lalu tampil sebagai agent of change untuk membangun filosofi sebuah kosmologi baru yang di dalamnya kehidupan manusia diikat oleh nilai-nilai demokrasi. Tapi, keyakinan itu segera runtuh manakala para penganut paham Orde Baru mulai membangun new-Orba dengan menguasai jaringan-jaringan informasi yang bermuara pada kanal-kanal informasi dimana media senantiasa berkubang untuk mengaksesnya, lalu satu per satu institusi media diambil alih dalam sebuah proses jual-beli saham yang menggiurkan para pengelola media.
Kondisi krisis keuangan pasca 1997 memaksa pengelola media untuk mencari sumber-sumber pembiayaan untuk mengelola institusinya, lalu menemukan celah-celah sempit di dalam kekayaan para new-Orba. Satu per satu institusi media di negeri ini menjadi milik mereka yang punya jalur-jalur khusus untuk terus berhubungan dengan penguasa Orba seperti Majalah Forum Keadilan dibeli mantan tentara yang merupakan boneka Cendana, dan lain sebagainya.
Institusi media pasca Orba adalah institusi media new Orba. Di era kapitalisme saat ini, ketika industri-industri transglobal mampu membangun sebuah kampung global (the global village) seperti anjuran Marshall Mc.Luhan, kapitalis media dunia membangun jaringan-jaringan bisnis yang kental dengan raja-raja media di Indonesia untuk menjadi satu-satunya sumber informasi bagi publik. Raja-raja media di Indonesia yang kemudian mempelajari betapa luar biasanya menjadi penguasa atas opini publik, kemudian membentuk jaringan pemberitaan (media linked) di daerah yang akhirnya memosisikan para pemilik media itu sebagai newsmaker.
Para pengelola, raja-raja berita itu, kini bertarung sesama mereka bukan pada urusan bagaimana menjaga CCI publik atas isi media mereka, tetapi bertempur untuk meyakinkan pemegang kekuasaan politik negara bahwa mereka memiliki sebuah jaringan pemberitaan yang bisa dimanfaatkan negara untuk mengkampanyekan ide-ide politik ke seantero jagat Republik Indonesia. Ketika pemilik media kemudian menjadi menteri dalam kabinet penguasa, atau malah diberi tanggung jawab mengelola BUMN, tak lain karena penguasaannya yang luar biasa atas sumber-sumber informasi.
Dalam situasi yang kait-berkait antara kepentingan politik dengan CCI publik, yang diinginkan pengelola media dalam pemberitaan politik tak lain adalah untuk memperkokoh kekuasaan politik. Jika di luar negeri pengelola media baru akan menyatakan mendukung seorang calon presiden setelah melakukan survei yang panjang dan melelahkan, maka media di Indonesia (juga Lampung) tak akan seterbuka itu untuk menyatakan dukungannya terhadap presiden maupun kepala daerah. Dukungan pengelola media hanya terjalin dalam sebuah lingkungan tanpa saksi (main mata), yang lebih menunjukkan ketidakberanian untuk menentukan sikap dalam sekian banyak sikap di dunia politik.
Ini disebut dukungan cari selamat. Dukungan semacam ini hanya dilakukan oleh pengelola media yang siaftnya sementara, tergantung arah arus politik. Kondisi ini karena pengalaman sejarah di masa lalu menunjukkan keberpihak media terhadap kekuasaan telah menjebak para pengelola media menjadi tahanan-tahanan politik yang dicitrakan sebagai enemy of the nation. Pengelola media Bintang Timur, misalnya, harus disebut komunis.
Semua terjadi karena sesungguh pengelola media tidak sedang berpikir tentang CCI publik. Mereka berpikir tentang bisnis dan masa depan bisnisnya.
Penelitian lembaga Zurich-Media Tenor, yang disampaikan pada pertemuan ilmiah internasional "Koneksi Transnasional" di Spanyol, pola seleksi berita dan perkembangan sosial politik oleh sejumlah media dunia membantu erosi dalam diri publik terhadap demokrasi. Kondisi ini ditandai dengan menurunnya partisipasi publik dalam kegiatan demokrasi seperti Pemilihan Umum (Pilkada).
Analisis itu berhasil menemukan penyebabnya:
Oleh Budi P. Hatees
Hidup para pengelola media saat ini seperti dalam bingkai sejarah yang melahirkan sebuah film berjudul Enemy of The Gate pada tahun 2001. Film genre thiller yang berlatar sejarah perang antara Nazi Jerman dengan Uni Soviet di Stalingrad pada musim semi tahun 1942 ini, mengisahkan tentang propaganda politik (psyward) Uni Soviet untuk menghindarkan jatuhnya Kota Stalingrad ke tangan Jerman. Jika kota itu jatuh, Uni Soviet bisa runtuh.
Dalam keadaan tertekan dan demoralisasi, muncul ide melahirkan seorang pahlawan (harapan baru) bagi publik. Vassili Zaitsev, prajurit rendah, direkrut Commisar Danilov menjadi penembak jitu. Vassili ditugaskan menembak para perwira Nazi Jerman. Pilihan Danilov ternyata tidak keliru karena Vassili memang berhasil membunuh sederat perwira Jerman.
Bukan betapa jitunya Vassili yang menarik, tetapi publikasi yang digerakkan Danilov sehingga membangkitkan harapan dalam hati para tentara Soviet untuk mengusir Jerman keluar dari Stalingrad, bahkan dari tanah airnya. Setiap kali membunuh perwira Nazi, Vassili dijadikanheadline sebuah koran yang sengaja diterbitkan. Vassili kemudian menjadi menakutkan bagi perwira Nazi, menjadi target utama, dan menjadi kebanggaan semua orang Jerman.
Kutipan ini bukan resensi film tersebut, tetapi suatu upaya untuk menunjukkan bahwa efek media luar biasa untuk membangun opini publik dan harapan publik, juga mengubah semuanya menjadi lebih baik atau lebih buruk. Media adalah alat yang paling tepat untuk melakukan perubahan sekaligus penghancuran.
Lantas, dimana posisi pengelola media beserta media-media mereka yang ada di Lampung, terutama dalam menyajikan berita-berita politik? Apakah media-media yang kita baca itu merupakan agent of change atau sebaliknya agent of degradation dengan nilai toksisitas (toxicity) yang pekat.
Setelah runtuhnya Orde Baru, Consumer Confidence Index(CCI) publik terhadap media sangat tinggi. Media diharapkan mampu memutus rantai-rantai ketidakbebasan yang masih mengikat para new-Orba, lalu tampil sebagai agent of change untuk membangun filosofi sebuah kosmologi baru yang di dalamnya kehidupan manusia diikat oleh nilai-nilai demokrasi. Tapi, keyakinan itu segera runtuh manakala para penganut paham Orde Baru mulai membangun new-Orba dengan menguasai jaringan-jaringan informasi yang bermuara pada kanal-kanal informasi dimana media senantiasa berkubang untuk mengaksesnya, lalu satu per satu institusi media diambil alih dalam sebuah proses jual-beli saham yang menggiurkan para pengelola media.
Kondisi krisis keuangan pasca 1997 memaksa pengelola media untuk mencari sumber-sumber pembiayaan untuk mengelola institusinya, lalu menemukan celah-celah sempit di dalam kekayaan para new-Orba. Satu per satu institusi media di negeri ini menjadi milik mereka yang punya jalur-jalur khusus untuk terus berhubungan dengan penguasa Orba seperti Majalah Forum Keadilan dibeli mantan tentara yang merupakan boneka Cendana, dan lain sebagainya.
Institusi media pasca Orba adalah institusi media new Orba. Di era kapitalisme saat ini, ketika industri-industri transglobal mampu membangun sebuah kampung global (the global village) seperti anjuran Marshall Mc.Luhan, kapitalis media dunia membangun jaringan-jaringan bisnis yang kental dengan raja-raja media di Indonesia untuk menjadi satu-satunya sumber informasi bagi publik. Raja-raja media di Indonesia yang kemudian mempelajari betapa luar biasanya menjadi penguasa atas opini publik, kemudian membentuk jaringan pemberitaan (media linked) di daerah yang akhirnya memosisikan para pemilik media itu sebagai newsmaker.
Para pengelola, raja-raja berita itu, kini bertarung sesama mereka bukan pada urusan bagaimana menjaga CCI publik atas isi media mereka, tetapi bertempur untuk meyakinkan pemegang kekuasaan politik negara bahwa mereka memiliki sebuah jaringan pemberitaan yang bisa dimanfaatkan negara untuk mengkampanyekan ide-ide politik ke seantero jagat Republik Indonesia. Ketika pemilik media kemudian menjadi menteri dalam kabinet penguasa, atau malah diberi tanggung jawab mengelola BUMN, tak lain karena penguasaannya yang luar biasa atas sumber-sumber informasi.
Dalam situasi yang kait-berkait antara kepentingan politik dengan CCI publik, yang diinginkan pengelola media dalam pemberitaan politik tak lain adalah untuk memperkokoh kekuasaan politik. Jika di luar negeri pengelola media baru akan menyatakan mendukung seorang calon presiden setelah melakukan survei yang panjang dan melelahkan, maka media di Indonesia (juga Lampung) tak akan seterbuka itu untuk menyatakan dukungannya terhadap presiden maupun kepala daerah. Dukungan pengelola media hanya terjalin dalam sebuah lingkungan tanpa saksi (main mata), yang lebih menunjukkan ketidakberanian untuk menentukan sikap dalam sekian banyak sikap di dunia politik.
Ini disebut dukungan cari selamat. Dukungan semacam ini hanya dilakukan oleh pengelola media yang siaftnya sementara, tergantung arah arus politik. Kondisi ini karena pengalaman sejarah di masa lalu menunjukkan keberpihak media terhadap kekuasaan telah menjebak para pengelola media menjadi tahanan-tahanan politik yang dicitrakan sebagai enemy of the nation. Pengelola media Bintang Timur, misalnya, harus disebut komunis.
Semua terjadi karena sesungguh pengelola media tidak sedang berpikir tentang CCI publik. Mereka berpikir tentang bisnis dan masa depan bisnisnya.
Penelitian lembaga Zurich-Media Tenor, yang disampaikan pada pertemuan ilmiah internasional "Koneksi Transnasional" di Spanyol, pola seleksi berita dan perkembangan sosial politik oleh sejumlah media dunia membantu erosi dalam diri publik terhadap demokrasi. Kondisi ini ditandai dengan menurunnya partisipasi publik dalam kegiatan demokrasi seperti Pemilihan Umum (Pilkada).
Analisis itu berhasil menemukan penyebabnya:
1. Pengelola media dalam memilih berita memiliki kemapanan yang dipakai olehy pengelola media dimana pun, dan mereka puas dengan cara itu meskipun tak membawa pencerahan bagi publik.
2. Isu-isu kontroversial selalu disajikan dengan cara yang sama, berfokus pada aspek-aspek yang sama dan protagonis yang sama.
3. Soal legislatif, media cenderung memosikan anggota legislatif sebagai anggota legislatif di dalam pemberitaan, tetapi mengabaikanfungsi legislatif yang inheren dengan setiap individu anggotanya.
4. Hampir tidak ada jurnalis yang akan menulis berita mempertentangkan ide-ide politik seorang politisi dengan politisi laini. Ketika pihak A menyajikan proposisi politik baru, pengelola media akan mengutif B, C, dan D dengan hanya menyajikan komentar negatif mereka. Negativisme sistematis ini mengarah pasti kepada orang-orang berpaling dari sistem demokrasi.
Sebuah analisis atas ribuan judul berita tentang kampanye pemilu AS 2004 yang disajikan Media Tenor di bawah judul “Will Democracy Survive the Media”, menunjukkan tidak ada perbaikan dalam keragaman isu atau protagonis yang disajikan dalam cakupan politik. "Demokrasi tergantung pada perubahan", kata Roland Schatz, Editor-in-Chief Media Teno. "Bila alternatif bahkan tidak disajikan sebagai pilihan untuk refleksi, maka orang berpaling. Hal ini tidak hanya berlaku untuk program TV, tapi untuk konsep dasar demokrasi - seperti yang jelas terlihat dari data terbaru tentang partisipasi pemilih ".
Kondisi hampir sama juga kita temukan dalam pemberitaan politik sekaitan dengan Pilkada Kota Bandar Lampung. Seperti ungkapan Roland Schatz, maka wajar jika publik tidak berpartisipasi dalam Pilkada. Pilkada Walikota Bandar Lampung akan dimenangi golongan putih.
Ide dan gagasan politik setiap calon yang muncul dalam berita, sangat universal dan tidak bisa menjadi alternatif dari sulitnya hidup di zaman sekarang. Ini disebabkan pengelola media hanya menempatkan para calon kepala daerah sebagai "narasumber" segala hal, tetapi tidak menunjukkan keberpihak (pilihan) atas siapa yang harus didukung oleh publik untuk menjadi Walikota Bandarlampugn periode 2010--2015.
Semua calon Walikota Bandar Lampung di mata pengelola media hanya "alat bayar", "sumber uang", dan bukan figur pemimpin yang diupayakan agar menjadi pemimpin dengan harapan sosoknya bisa mengubah situasi Kota Bandarlampung sehingga menguntungkan semua pihak termasuk pebisnis media. The Washtington Post memutuskan mendukung Obamma karena melihat sosok Obamma akan mampu menciptakan situasi ekonomi yang bagus bagi masa depan AS dan itu menguntungkan bisnis mereka.
Pilihan media adalah pilihan publik. Pilihan publik tergantung pilihan media.