Sekolah Jurnalisme Official Website | Members Area : Register | Sign in

Jumat, 28 Mei 2010

Buruk Visi Media dalam Pilkada Kota Bandar Lampung

Para pengelola media di Indonesia tentu berpikir dan berkeyakinan, institusi media (termasuk yang dikelolanya dalam sebuah lingkungan korporat yang menggurita) memiliki catatan sejarah yang panjang untuk memainkan peran besar dalam mengubah indek keyakinan publik (Consumer Confidence Index/CCI) atas suatu pendapat umum. Para pengelola media di Lampung, tentu juga tidak ingin tertinggal jauh di belakang dalam peredaran siklus bisnis penyajian informasi dunia, memahi betul sejarah panjang yang menempatkan institusi media sebagai alat perjuangan kemerdekaan yang bertugas mengubah keyakinan publik atas suatu pendapat umum.

Oleh Budi P. Hatees

Hidup para pengelola media saat ini seperti dalam bingkai sejarah yang melahirkan sebuah film berjudul Enemy of The Gate pada tahun 2001. Film genre thiller yang berlatar sejarah perang antara Nazi Jerman dengan Uni Soviet di Stalingrad pada musim semi tahun 1942 ini, mengisahkan tentang propaganda politik (
psyward) Uni Soviet untuk menghindarkan jatuhnya Kota Stalingrad ke tangan Jerman. Jika kota itu jatuh, Uni Soviet bisa runtuh.

Dalam keadaan tertekan dan demoralisasi, muncul ide melahirkan seorang pahlawan (harapan baru) bagi publik. Vassili Zaitsev, prajurit rendah, direkrut Commisar Danilov menjadi penembak jitu. Vassili ditugaskan menembak para perwira Nazi Jerman. Pilihan Danilov ternyata tidak keliru karena Vassili memang berhasil membunuh sederat perwira Jerman. 

Bukan betapa jitunya Vassili yang menarik, tetapi publikasi yang digerakkan Danilov sehingga membangkitkan harapan dalam hati para tentara Soviet untuk mengusir Jerman keluar dari Stalingrad, bahkan dari tanah airnya. Setiap kali membunuh perwira Nazi, Vassili dijadikan
headline sebuah koran yang sengaja diterbitkan. Vassili kemudian menjadi menakutkan bagi perwira Nazi, menjadi target utama, dan menjadi kebanggaan semua orang Jerman.

Kutipan ini bukan resensi film tersebut, tetapi suatu upaya untuk menunjukkan bahwa efek media luar biasa untuk membangun opini publik dan harapan publik, juga mengubah semuanya menjadi lebih baik atau lebih buruk. Media adalah alat yang paling tepat untuk melakukan perubahan sekaligus penghancuran. 

Lantas, dimana posisi pengelola media beserta media-media mereka yang ada di Lampung, terutama dalam menyajikan berita-berita politik? Apakah media-media yang kita baca itu merupakan agent of change atau sebaliknya agent of degradation dengan nilai toksisitas (toxicity) yang pekat.

Setelah runtuhnya Orde Baru, 
Consumer Confidence Index(CCI) publik terhadap media sangat tinggi. Media diharapkan mampu memutus rantai-rantai ketidakbebasan yang masih mengikat para new-Orba, lalu tampil sebagai agent of change untuk membangun filosofi sebuah kosmologi baru yang di dalamnya kehidupan manusia diikat oleh nilai-nilai demokrasi. Tapi, keyakinan itu segera runtuh manakala para penganut paham Orde Baru mulai membangun new-Orba dengan menguasai jaringan-jaringan informasi yang bermuara pada kanal-kanal informasi dimana media senantiasa berkubang untuk mengaksesnya, lalu satu per satu institusi media diambil alih dalam sebuah proses jual-beli saham yang menggiurkan para pengelola media.

Kondisi krisis keuangan pasca 1997 memaksa pengelola media untuk mencari sumber-sumber pembiayaan untuk mengelola institusinya, lalu menemukan celah-celah sempit di dalam kekayaan para new-Orba. Satu per satu institusi media di negeri ini menjadi milik mereka yang punya jalur-jalur khusus untuk terus berhubungan dengan penguasa Orba seperti Majalah Forum Keadilan dibeli mantan tentara yang merupakan boneka Cendana, dan lain sebagainya. 

Institusi media pasca Orba adalah institusi media new Orba. Di era kapitalisme saat ini, ketika industri-industri transglobal mampu membangun sebuah kampung global (
the global village) seperti anjuran Marshall Mc.Luhan, kapitalis media dunia membangun jaringan-jaringan bisnis yang kental dengan raja-raja media di Indonesia untuk menjadi satu-satunya sumber informasi bagi publik. Raja-raja media di Indonesia yang kemudian mempelajari betapa luar biasanya menjadi penguasa atas opini publik, kemudian membentuk jaringan pemberitaan (media linked) di daerah yang akhirnya memosisikan para pemilik media itu sebagai newsmaker. 

Para pengelola, raja-raja berita itu, kini bertarung sesama mereka bukan pada urusan bagaimana menjaga CCI publik atas isi media mereka, tetapi bertempur untuk meyakinkan pemegang kekuasaan politik negara bahwa mereka memiliki sebuah jaringan pemberitaan yang bisa dimanfaatkan negara untuk mengkampanyekan ide-ide politik ke seantero jagat Republik Indonesia. Ketika pemilik media kemudian menjadi menteri dalam kabinet penguasa, atau malah diberi tanggung jawab mengelola BUMN, tak lain karena penguasaannya yang luar biasa atas sumber-sumber informasi. 

Dalam situasi yang kait-berkait antara kepentingan politik dengan CCI publik, yang diinginkan pengelola media dalam pemberitaan politik tak lain adalah untuk memperkokoh kekuasaan politik. Jika di luar negeri pengelola media baru akan menyatakan mendukung seorang calon presiden setelah melakukan survei yang panjang dan melelahkan, maka media di Indonesia (juga Lampung) tak akan seterbuka itu untuk menyatakan dukungannya terhadap presiden maupun kepala daerah. Dukungan pengelola media hanya terjalin dalam sebuah lingkungan tanpa saksi (main mata), yang lebih menunjukkan ketidakberanian untuk menentukan sikap dalam sekian banyak sikap di dunia politik.

Ini disebut dukungan cari selamat. Dukungan semacam ini hanya dilakukan oleh pengelola media yang siaftnya sementara, tergantung arah arus politik. Kondisi ini karena pengalaman sejarah di masa lalu menunjukkan keberpihak media terhadap kekuasaan telah menjebak para pengelola media menjadi tahanan-tahanan politik yang dicitrakan sebagai 
enemy of the nation. Pengelola media Bintang Timur, misalnya, harus disebut komunis. 

Semua terjadi karena sesungguh pengelola media tidak sedang berpikir tentang CCI publik. Mereka berpikir tentang bisnis dan masa depan bisnisnya. 

Penelitian lembaga Zurich-Media Tenor, yang disampaikan pada pertemuan ilmiah internasional "Koneksi Transnasional" di Spanyol, pola seleksi berita dan perkembangan sosial politik oleh sejumlah media dunia membantu erosi dalam diri publik terhadap demokrasi. Kondisi ini ditandai dengan menurunnya partisipasi publik dalam kegiatan demokrasi seperti Pemilihan Umum (Pilkada).

Analisis itu berhasil menemukan penyebabnya:

1.       Pengelola media dalam memilih berita memiliki kemapanan yang dipakai olehy pengelola media dimana pun, dan mereka puas dengan cara itu meskipun tak membawa pencerahan bagi publik.

2.       Isu-isu kontroversial selalu disajikan dengan cara yang sama, berfokus pada aspek-aspek yang sama dan protagonis yang sama.

3.       Soal legislatif, media cenderung memosikan anggota legislatif sebagai anggota legislatif di dalam pemberitaan, tetapi mengabaikanfungsi legislatif yang inheren dengan setiap individu anggotanya.

4.       Hampir tidak ada jurnalis yang akan menulis berita mempertentangkan ide-ide politik seorang politisi dengan politisi laini. Ketika pihak A menyajikan proposisi politik baru, pengelola media akan mengutif B, C, dan D dengan hanya menyajikan komentar negatif mereka. Negativisme sistematis ini mengarah pasti kepada orang-orang berpaling dari sistem demokrasi.


Sebuah analisis atas ribuan judul berita tentang kampanye pemilu AS 2004 yang disajikan Media Tenor di bawah judul “Will Democracy Survive the Media”, menunjukkan tidak ada perbaikan dalam keragaman isu atau protagonis yang disajikan dalam cakupan politik. "Demokrasi tergantung pada perubahan", kata Roland Schatz, Editor-in-Chief Media Teno. "Bila alternatif bahkan tidak disajikan sebagai pilihan untuk refleksi, maka orang berpaling. Hal ini tidak hanya berlaku untuk program TV, tapi untuk konsep dasar demokrasi - seperti yang jelas terlihat dari data terbaru tentang partisipasi pemilih ". 

Kondisi hampir sama juga kita temukan dalam pemberitaan politik sekaitan dengan Pilkada Kota Bandar Lampung. Seperti ungkapan Roland Schatz, maka wajar jika publik tidak berpartisipasi dalam Pilkada. Pilkada Walikota Bandar Lampung akan dimenangi golongan putih.

Ide dan gagasan politik setiap calon yang muncul dalam berita, sangat universal dan tidak bisa menjadi alternatif dari sulitnya hidup di zaman sekarang. Ini disebabkan pengelola media hanya menempatkan para calon kepala daerah sebagai "narasumber" segala hal, tetapi tidak menunjukkan keberpihak (pilihan) atas siapa yang harus didukung oleh publik untuk menjadi Walikota Bandarlampugn periode 2010--2015. 

Semua calon Walikota Bandar Lampung di mata pengelola media hanya "alat bayar", "sumber uang", dan bukan figur pemimpin yang diupayakan agar menjadi pemimpin dengan harapan sosoknya bisa mengubah situasi Kota Bandarlampung sehingga menguntungkan semua pihak termasuk pebisnis media.
 The Washtington Post memutuskan mendukung Obamma karena melihat sosok Obamma akan mampu menciptakan situasi ekonomi yang bagus bagi masa depan AS dan itu menguntungkan bisnis mereka. 

Pilihan media adalah pilihan publik. Pilihan publik tergantung pilihan media.

Baca


Senin, 17 Mei 2010

Mogok Wartawan The Times dan Koran Jakarta

Wartawan di Indonesia, kebanyakan dan hampir selalu menerima apa pun keputusan para bos mereka, kendati itu menyangkut nasib dan kesejahteraan mereka. Itu berbeda dengan yang dilakukan para wartawan di Inggris dan di Italia.

Oleh Rusdi Mathari

KETIKA pemogokan umum itu melanda London yang murung, tak seorang pun karyawan surat kabar The Times yang ikut di dalamnya. Tak pula para wartawannya. Pemimpin surat kabar itu, dengan bangga mengatakan, semua karyawan The Times setia kepada pekerjaannya, kepada profesinya dan karena itu, mereka semua tidak ikut-ikutan dengan aksi pemogokan umum.

Hari itu di pengujung 1926, di kota-kota di Inggris, para pekerja yang marah tengah menuntut pemerintah agar tidak menutup pertambangan batubara. Aksi mereka berakhir ketika pemerintah kemudian setuju untuk meningkatkan upah mereka dan menempatkan perwakilan yang memiliki kedudukan sama kuat di manajemen pabrik.

Hingga 53 tahun kemudian, ketika hampir semua orang melupakan absennya para wartawan The Times dalam aksi mogok di tahun 1926, kejadian sebaliknya dan lebih telak justru menimpa surat kabar ternama itu: The Times berhenti terbit, setelah seluruh karyawan termasuk para wartawannya melakukan aksi mogok. Berbeda dengan pemogokan umum 1926 yang hanya berlangsung beberapa hari, pemogokan para karyawan dan wartawan The Times malah berlangsung selama hampir setahun.

Tahun itu, 1978, manajemen The Times memutuskan untuk menggunakan komputer, dan rencana itu yang ditolak karyawan. Karyawan-karyawan di bagian produksi terutama, yang pekerjaan mereka antara lain menyusun huruf-huruf sebelum koran itu naik cetak, menganggap komputer akan menggantikan profesi mereka. Tapi beberapa pengamat menyalahkan The Times, karena surat kabar itu gagal meyakikankan karyawan soal modernisasi dan sebaliknya memupuk keangkuhan profesi para karyawannya.

Banyak yang dirugikan dengan pemogokan itu, tentu saja. Namun para pembaca The Times bisa diyakinkan bahkan wartawan pun berhak menyuarakan kepentingannya setelah selalu menyuarakan kepentingan dari orang-orang tak berdaya. Tidakkah para pembaca itu juga tak bisa melakukan hal yang sama, melaporkan, menulis dan memberitakan seperti yang dilakukan para wartawan itu ketika mereka melihat ketidakadilan di sekitar mereka?

Pemogokan sebelas bulan yang dilakukan wartawan The Times, karena itu dimaklumi oleh mereka. Para wartawan dari media lain termasuk dari pesaing The Times, juga tidak mencoba menarik keuntungan dengan misalnya melamar dan menawarkan diri menggantikan posisi para wartawan yang mogok, agar koran itu bisa terbit kembali. Sebagian malah memberikan dukungan moral, yang lain mencarikan jalan keluar dan sebagainya, hingga The Times terbit kembali dan tuntutan para wartawannya dipenuhi.

Bertahun-tahun kemudian, setelah manajemen The Times menyadari kesalahannya dan lalu memperbaikinya, surat kabar itu menjadi salah satu koran terbaik di Inggris, bahkan hingga kini. Pemogokan di tahun 1978 itu efektif mengubah pola pikir manajemen The Times untuk memperlakukan wartawan dan karyawannya sebagai aset dan bukan sebagai sekrup kecil dari sebuah industri, yang hanya harus tunduk kepada keinginan para pemodal dan bos mereka.

Anak Manis

Lalu bagaimana dengan wartawan di Indonesia? Hampir tidak pernah ada kejadian seperti yang menimpa The Times, yang tidak terbit hampir setahun karena para wartawannya mogok meliput, menulis dan memberitakan. Wartawan di Indonesia, adalah wartawan-wartawan yang dikenal sebagai anak manis, yang kebanyakan dan hampir selalu menerima apa pun keputusan para bos mereka, kendati itu menyangkut nasib dan kesejahteraan mereka.

Sebagian karena berlindung di balik alasan profesional. Demi kesetiaan kepada profesi, untuk kepentingan pembaca dan sebagainya. Sebagian lagi beralasan mogok atau bokiot hanya perbuatan para buruh pabrik yang kumuh, dan bukan pekerjaan wartawan yang intelek meski diam-diam di antara mereka, berebut makan setiap kali ada undangan liputan. Ada yang menilai, mogok sebagai perbuatan kaum kiri yang genit dan wartawan bukan bagian dari kaum itu.

Wartawan lainnya mengaku tidak bisa atau menolak melakukan aksi mogok atau boikot karena kolega mereka yang bekerja di media yang sama, tidak melakukannya. Tidak ada solidaritas, katanya, seolah hanya itu syarat sebuah pemboikotan. Singkat kata, mogok dianggap tidak efektif memperjuangkan hak mereka, karena media mereka tetap akan terbit, terus tayang dan sebagainya, karena masih banyak rekan mereka yang bersedia menggantikan pekerjaan mereka, meski dengan menggerutu.

Kalau sebagian kenyataannya adalah seperti itu, lantas siapa yang akan membela para wartawan (Indonesia) ketika mereka diperlakukan tidak adil, dan pada akhirnya diberhentikan dari media tempatnya bekerja? Sumber berita, para politisi, aktivis pejuang demokrasi atau LSM-LSM itu? Tidak. Kecuali hanya menyatakan keprihatinan dan simpati, pengalaman menunjukkan, mereka semua juga selalu membisu. Hanya itu. Tidak lebih.

Orang mungkin tidak akan percaya, kejadian-kejadian menyedihkan semacam itu, benar menimpa para wartawan di Indonesia. Namun faktanya, Aliansi Jurnalis Independen atau AJI adalah satu-satunya organisasi profesi wartawan di Indonesia yang mungkin paling banyak menerima pengaduan soal perlakuan semena-mena para pemilik modal dan keangkuhan bos media kepada para wartawannya.

Mereka yang tidak mengadukan, saya percaya, jumlahnya lebih banyak lagi dengan alasan bermacam-macam.

Ada yang merasa tidak berdaya melakukan apa-apa bahkan jika itu hanya untuk menuntut pesangon. Itu terutama menimpa para wartawan dari media-media kecil, baik dari segi modal maupun pengaruh dan jangkauan edar. Menuntut bagi mereka hanya buang-buang waktu dan melelahkan.

Sebagian yang lain, merasa malu meramaikan kasus mereka dengan medianya, karena menganggap diri sebagai kumpulan orang-orang pintar, berpendidikan, dan profesional. Mereka berpikir, apa kata dunia, kalau akhirnya tahu, kumpulan-kumpulan orang hebat itu ternyata tak berdaya menghadapi keangkuhan pemilik dan pengelola media di tempatnya bekerja. Atau bisa karena alasan lainnya.

Dan atas nama semua alasan itu, mereka karena itu lebih memilih untuk tidak bersuara, sembari diam-diam mencari peluang bekerja di media lain, meloncat ke sana ke mari, setelah itu kembali dengan lantang menuliskan berita soal pemecatan yang menimpa para pekerja sebuah bank, PHK masal buruh pabrik, korupsi uang negara, atau hak-hak orang lain yang dikebiri.

Tentu, itu semua soal pilihan jika tidak mungkin disebut sebagai sebuah ironi. Wartawan yang pekerjaannya telanjur dianggap sebagai pembuka kebenaran, pembela ketidakadilan, penyuara kebebasan berpendapat, membela hak-hak kaum tertindas, ternyata hanya diam tidak melakukan apa pun, jika itu menyangkut nasib mereka. Lihat atau dengarlah kemudian, para wartawan itu dengan gagah bisa melakukan aksi boikot atau mogok untuk tidak meliput sebuah sumber, karena persoalan sepele. Misalnya karena teman mereka dianiya oleh sumber dan sebagainya. Mereka pula, bisa dengan berbagai alasan menghentikan tidak mengirimkan berita ke meja redaksi dengan alasan solidaritas, karena nasib buruk yang menimpa rekan mereka di lapangan dan sebagainya.

Permintaan Maaf

Sekali lagi, semua itu memang soal pilihan. Namun kejadian yang pernah dilakukan para wartawan The Times dan yang terbaru yang dilakukan para wartawan di Italia, mungkin bisa dijadikan bahan renungan para wartawan di sini.

Di sebuah Rabu, 20 Desember 2006, hampir seluruh wartawan media cetak, radio, televisi dan kantor berita di Italia melakukan aksi mogok tidak meliput dan memberitakan. Peristiwa yang terjadi lima hari menjelang Natal yang dingin itu, merupakan buntut dari perselisihan mereka dengan para redaktur menyangkut gaji dan kondisi kerja.

Kisahnya bermula dari masa kontrak kerja kolektif wartawan yang berakhir pada Desember 2004 dan tak diperbarui. Wartawan itu sangat marah dengan pemanfaatan secara luas pekerja, sementara dengan gaji rendah melalui kontrak jangka pendek yang dikatakan serikat pekerja mereka menghasilkan jurnalisme di bawah standar “yang tak berguna bagi demokrasi.”

Menurut para bos media dan redaktur mereka, para wartawan itu menentang keluwesan pasar tenaga kerja yang diperlukan dan berusaha berpegang pada hak istimewa yang sudah usang. Namun alasan itu belakangan terbukti mentah dan terlalu dicari-cari. Akibat dari pemogokan para wartawan itu, Perdana Menteri Romano Prodi terpaksa membatalkan taklimat akhir tahunnya.

Tanpa bermaksud meniru aksi pemogokan yang pernah dilakukan para wartawan di Italia dan juga The Times itu, kami dari tim Koran Jakarta edisi Minggu, sejak Sabtu (20 Maret) melakukan aksi mogok. Sebagai penanggungjawab edisi Minggu, saya meminta maaf kepada para pembaca, yang pada hari Minggu (21 Maret) mendapati Koran Jakarta berbeda dengan edisi-edisi Minggu sebelumnya.

Kami tidak menggarapnya.

Kami dengan menyesal melakukan itu, karena kami menganggap hanya itu yang bisa kami lakukan untuk menarik perhatian banyak pihak tentang nasib kami. Tentang kesewenang-wenangan manajemen yang memecat sejumlah rekan kami tanpa alasan yang jelas, dan juga untuk memperjuangkan kesejahteraan kami termasuk masalah kontrak kerja seperti yang menimpa para wartawan di Italia itu yang perinciannya terlalu banyak untuk diungkapkan di sini.

Kami berjanji akan menemui pembaca kembali pada Minggu 28 Maret mendatang, dengan catatan manajemen atau mungkin juga pemilik modal dari koran yang belum lagi genap berusia dua tahun itu, tidak melakukan aksi sepihak kepada kami. Sekali lagi kami memohon maaf.

Anda bisa membaca karya lain di Blog Rusdi Matari
Baca


Minggu, 16 Mei 2010

Jurnalisme Franchise

1


SAAT sedang menemani seorang teman menikmati menu makan siang di sebuai gerai di Kota Bandar Lampung, secara mendadak saya berpikir keras tentang gerai itu. Ia hanya menawarkan satu menu: ayam goreng. Saya tak begitu suka menu ini dan tak akan bicara soal ayam goreng. Tapi, untuk orang seperti saya, gerai itu menyajikan sajian khusus: cappuchino. Minuman ini pun membuat saya berpikir keras. Kesimpulan dari yang saya pikirkan cuma satu: franchise.

Sebagian besar makanan dan minuman moderen yang kita nikmati hari ini diproduksi oleh mesin kuliner kapitalis dunia. Walapun sesungguhnya yang diproduksi mesin itu cuma merek, brand, imagi, dan kebudayaan. Tanpa kita sadari, manakala kita menikmatinya, lidah orang Indoinesia (Batak, Lampung, Jawa, Ambon, Bali, Padang, Palembang, Sumbawa, dan lain sebagainya) berubah menjadi lidah manusia global.

Tidak ada lagi yang khas pada lidah orang Indonesia. Rasa cabai kemudian hambar, jauh lebih enak saus. Makan ayam goreng (meskipun bukan di gerai franchise) akan terasa lebih nikmat jika dicocol ke saus cabai atau saus tomat. Padahal saus itu tidak murni cabai atau tomat. Saya menjadi teringat sebuah adegan yang pernah saya saksikan di sebuah acara bertajuk Jambore Anak Indonesia. Ketika pemandu acara bertanya kepada seorang anak tentang dari mana asal telur ayam, si anak menjawab: “Dari supermarket.”

Anak itu jelas bodoh. Karena telur ayam dihasilkan oleh seekor ayam. Tapi, sesungguhnya, kitalah yang bodoh. Setiap saat kita mengajak anak-anak mencari telur ayam di supermarket. Kita tidak pernah memberi tahu bagaimana telur ayam bisa ada di supermarket, karena kita tidak menyukai proses. Kita adalah warga dari sebuah bangsa yang lebih menyukai hasil.

2

Pembukaan tulisan ini berkaitan erat dengan jurnalisme franchaise. Barangkali sudah pernah ada yang mengungkapkan terminologi ini.

Pada satu sisi, jurnalisme franchise adalah jurnalisme yang mengandalkan jaringan pemberitaan yang dibentuk oleh industri pers dalam rangka memasok kebutuhan berita untuk media-media yang ada dalam jaringan pemberitaannya. Pada sisi lain, jurnalisme franchise bisa dipahami sebagai industri media yang didirikan seorang pengusaha setelah mengantongi brand sebuah perusahaan penerbitan pers.

Seperti cappuchino, brand perusahaan pers itu kemudian menghasilkan banyak industri media dengan nama yang sama di berbagai daerah (negara).

Di Indonesia, di era 2000-an, kita mengenal pengusaha Indonesia yang membeli brand majalah-majalah terbitan luar negeri. Kehadiran majalah-majalah dengan brand internasional itu “mematikan” majalah senafas yang ada di negeri ini. Sebut saja majalah Play Boy, Gogirls, Design, Elle, Cosmopolitan, Vague, PC Plus, Home, Cosmo Girl, Rolling Stone, dan lain sebagainya.

Majalah-majalah ini lebih membutuhkan penerjemah daripada seorang wartawan. Isi majalah-majalah itu menerjemahkan semua isi dari bahasa asli majalah tersebut. Memang, sebagian ada penambahan dengan konten khas Indonesia. Tapi, tentu, dengan jiwa dan subtansi yang khas majalah tersebut.

Sulit membayangkan jika fenomena seperti ini berkembang juga di daerah. Para pemilik modal membeli brand industri penerbitan dunia, lalu menerbitkan edisi berbahasa Indonesia dengan konten yang tak Indonesia. Bukan mustahil suatu saat akan terjadi.

Bukankah sudah ada tanda-tanda ke arah itu ketika industri media di daerah (Lampung) dihidupkan oleh semangat branding media nasional. Kehadiran jaringan-jaringan pemberitaan seperti MNC, JPNN, Persda Kompas, dan MI Grup. Dampak yang paling nyata, konten pemberitaan lokal semakin berkurang. Informasi yang disajikan industri pers itu sebagian besar konten nasional, sehingga kebutuhan informasi publik menjadi tak tercukupi.

Publik di daerah dipersiapkan industri pers kita sebagai pengunyah informasi nasional, sehingga abai terhadap kondisi di lingkungannya sendiri. Publik di daerah menjadi lebih paham persoalan-persoalan nasional, dan agak buta terhadap persoalan-persoalan di daerahnya. Sebagai contoh, ketika DPP Partai Golkar bermain politik di tingkat nasional, publik tidak paham apakah DPD Partai Golkar ikut bermain atau sudah inklud dengan DPP Partai Golkar.

Baca


Sabtu, 15 Mei 2010

Menulis, Bukan Bakat

1

SAAT memberi pelatihan tentang menulis kepada para pengajar, seorang peserta mengajukan pertanyaan yang panjang. Setelah saya simak, saya berkesimpulan pertanyaan itu bermakna seperti ini:

Saya ingin menjadi penulis, tapi saya tidak punya bakat. Apakah saya bisa menjadi penulis?


Saya jawab dulu tentang bakat. Dalam kamus Bahasa Indonesia, bakat itu bisa diartikan “keterampilan bawaan sejak lahir”. Kalau menulis dikaitkan dengan bakat, kita bisa mengatakan sangat mustahil ada orang yang punya keterampilan menulis begitu dilahirkan.

Jadi, kita kesamping dulu soal bakat menulis itu.

Menulis itu hasil sebuah proses pembelajaran. Itu pun tak cukup, karena ia berkaitan dengan soal keterampilan. Untuk terampil, seseorang tidak cuma butuh belajar tetapi juga latihan.

Latihan, itulah intinya. Setiap kali Anda menulis, anggaplah sedang berlatih. Tentu, berlatihlah yang tekun. Tekun berarti Anda memahami setiap tahapan dari proses latihan.

Seperti pemain bola, Anda tidak cuma berusaha memahami bagaimana cara menendang atau menanduk bola. Anda juga akan memahami, kalau bola ditendang tepat di tengah dengan ujung sepatu, maka bola itu akan meluncur lurus dan deras. Anda pun akan memahami, kalau bola ditendang di bagian bawah, maka bola akan melambung ke atas. Anda pun akan paham, jika bola ditendang pada bagian sisi kiri dengan sepatu bagian sisi kanan, maka bola akan melambung dalam gerak melengkung (tendangan pisang).

Artinya, jika Anda tekun, Anda akan paham segala sesuatu secara rinci. Saat itulah, tanpa Anda sadari, sesungguhnya Anda sedang berproses menjadi seorang penulis.

2


Salah satu manfaat jika Anda tekun latihan. Saya bercerita tentang seorang sales. Jika Anda seorang sales, tentu Anda akan berusaha mengenali produk yang ingin Anda jual. Sebelum mengenali betul produk itu, tentu Anda tidak akan berani menawarkannya.

Cukupkah hanya itu? Tidak.

Anda masih perlu mengenali konsumen seperti apa yang membutuhkan produk tersebut. (Anda jangan mengabaikan bahwa jutaan manusia memiliki keinginan-keinginan yang beragam, karena hakikat manusia adalah menemukan kebahagiaannya). Apakah produk Anda dapat membahagiakan manusia? Manusia yang mana yang dapat berbahagia karena produk Anda?

Apakah semua sales akan seperti itu? Tidak. Memasarkan suatu produk adalah perkara yang tidak semua orang mampu melakukannya. Tapi, jika paham “cara”, “metoda”, atau “kiat” memasarkan produk, sangat pasti seorang sales akan sukses.

Oscar Schlinder, seorang entrepreneur yang tak sukses di Berlin, tetapi punya pengalaman matang dalam berbisnis. Di zaman Nazi, Schlinder berangkat ke Aukland, sebuah daerah Yahudi yang dijajah Nazi, dan di sana ada kamp pengungsi Yahudi. Di daerah perang itu, Schlinder menjadi sukses sebagai pebisnis meskipun modalnya tidak ada. “Saya tidak tahu bisnis, tetapi saya mampu presentasi,” kata Schlinder, tokoh utama dalam film Schlinder Lits karya sutradara penerima Oscar.

Apa pelajaran yang bisa diambil? Presentasi. Dengan presentasi, Schlinder mampu meyakinkan orang lain bahwa ia seorang pebisnis professional sehingga orang mau merogoh kocek untuk menanam saham.

Presentasi merupakan kegiatan menjelaskan, menguraikan, membeberkan, dan memengaruhi orang lain. Presentasi lebih pada persoalan oraliti. Karena Anda penulis, presentasi dalam bentuk tulisan. Anda punya gagasan tentang suatu hal, Anda presentasikan gagasan itu dalam bentuk tulisan. Jika gagasan Anda bagus dan cara Anda mempresentasikannya sangat menarik, maka tulisan Anda tidak akan ditolak siapa pun.

3

Intinya, bagaimana Anda bisa meyakinkan orang lain (pembaca) tentang hal yang Anda sampaikan dalam bentuk tulisan? Jika Anda bisa menjawab pertanyaan itu, berarti Anda seorang penulis yang baik.

Tulisan yang bagus adalah tulisan yang bisa dicerna, dipahami, dan dinikmati oleh pembaca. Penulis yang bagus adalah penulis yang mampu mempresentasikan ide, gagasan, dan tema ke dalam bentuk tulisan, sehingga pembaca tidak merasa kesulitan untuk memahami, menikmati, dan mendapatkan pengetahuan baru dari bacaan tersebut.

Lantas, “cara”, “kiat”, “teknik”, atau “metoda” apa yang bisa diaflikasikan dalam menghasilkan sebuah karya tulis yang bagus?

Cuma satu cara, Anda harus memahami bahwa Anda menulis dalam rangka berkomunikasi.

Ada satu perkara yang ingin Anda sampaikan kepada pembaca., dan Anda harus yakin apa yang ingin Anda sampaikan akan mudah dicerna, dipahami, dinikmati, dan menjadi pengetahuan baru bagi pembaca.

Dengan begitu Anda punya dasar yang kokoh. Setelah itu, Anda bisa membuka literature tentang teknik menulis. Di Indonesia, ada banyak buku tentang “teknik menulis” yang bisa Anda baca. Dengan buku-buku itu Anda bisa mengasah, memperdalam, memperhalus, memperlembut, dan sebagainya, pengetahuan atau keterampilan yang Anda miliki.

4


MENULIS adalah keterampilan. Seseorang yang sudah terbiasa mengorganisir pemikiran, ide, dan gagasan, akan sanggup menyampaikannya dalam bentuk lisan. Tapi, belum tentu sanggup menuangkannya dalam bentuk tulisan? Seorang penceramah, biasanya, bukan orang yang pintar menulis. Seorang penulis, biasanya, bukan orang yang pintar berbicara.

Meskipun begitu, ada penulis yang pintar berbicara dan ada pembicara yang cerdfas menulis.

Sebaiknya orang seperti itu ada di anatara Anda. Pintar bicara, pintar juga menulis. Atau, sebaliknya, pintar menulis, pintar juga berbicara.

Elizabeth McMahan dan Susab Day dalam buku mereka The Write’s Rhetoric and Handbook membagi teknik menulis ke dalam 13 cara. Terlalu banyak teknik itu. Maka, kita kutif beberapa yang penting saja. (1)Menulis adalah cara berkomunikasi. (2)Gunakan bahasa yang baik dan benar ; (3)Diksi; (4)Komposisi; (5)Detail; dan (6)Revisi.

Namun, yang sangat penting dicamkan, tulisan untuk dibaca. Di sini ditekankan, segala bentuk tulisan adalah untuk dibaca.

Untuk itu, Anda perlu memperhatikan tulisan seperti apa yang akan dibaca orang dan siapa yang akan membacanya.

Mengutif F.L. Lucas dalam makalahnya, “On the Fascination of Style”, disebutkan tulisan yang efektif setidaknya terdiri dari: “Good humor, good sense, vitality, and imagination”.

Ketika orang membaca tulisan Anda, orang akan merasa terhibur, terimajinasi, dan vitalitas hidup makin tumbuh. Ada desire yang menyentuh hati.

Namun, sebelum menulis, Anda harus berpikir dan bertanya (1)Kenapa Anda menulis? (2)Untuk siapa Anda menulis? (3)Bagaimana Anda akan menulis?


5


Soal menulis dalam hal ini tidak cuma berkaitan dengan media massa. Menulis di sini adalah menulis dalam pengertian sangat luas.

Anda tidak bisa hidup tanpa keterampilan menulis. Bayangkanlah saat Anda harus membuat makalah sebagai tugas kuliah, bayangkan juga saat Anda harus menyusun hasil pemikiran dan gagasan ke dalam disertasi atau tesis. Anda tak akan pernah bisa melakukannya tanpa menulis. Anda tidak akan bisa menjadi apa pun yang Anda harapkan.

Pengalaman saya “membantu” menulis skripsi, disertasi, dan tesis beberapa kawan, sungguh suatu pengalaman yang sangat berguna. Saya prihatin terhadap mereka---yang oleh rekan-rekannya dipuji karena mampu mengenyam jenjang pendidikan sampai pascasarjana—ternyata kurang begitu memahami cara menulis.

Bisa Anda bayangkan akan seperti apa karya ilmiah mereka?
Baca


Jumat, 14 Mei 2010

Tak Ada Demokratisasi Pemberitaan

AWAL Mei 2010 di Universitas Lampung, di hadapan mahasiswa dari lingkungan BEM se-Indonesia, saya ditanya seorang peserta perihal “demokratisasi pemberitaan” media massa di negeri ini. Pertanyaan itu diajukan setelah saya menarasikan cara mendisain isu dan bagaimana pula media massa melakukannya.


Sebelum menjawab pertanyaan, saya tak banyak menjelaskan tentang mendisain isu itu. Saya cuma mengutif serbasedikit teori komunikasi yang diperkenal Harold D. Laswell (teori ini kemudian diformulasikan orang lain menjadi formula 5W + 1 H), teori diffusi dan innovasi yang diperkenalkan Marshall Mc Luhan dana Undrestanding Media, teori agenda setiing dari McCommb, dan analisis wacana yang acap dipakai dalam menganalisis wacana.

Saya menekankan pada soal agenda seting. Saya bilang bahwa media massa punya agenda sendiri dengan menerbitkan sebuah berita, lalu diupayakan menjadi agenda pembaca. Tapi, tidak semua pengelola media berhasil melakukannya. Bahkan, TVOne terjebak sendiri di dalamnya setelah membangun agenda TVOne dengan cara menciptakan sumber palsu.

Pengelola media terjebak dan terperosok oleh ulahnya sendiri (agenda media), bukan cuma terjadi di Indonesia.

Sebutlah Janet Cooke. Jurnalis yang berkarier di The Washington Post ini mengagetkan public Amerika Serikat pada 1981. Bukan cuma karena pada tahun itu ia menerima Pulitzer Prize, penghargaan yang diidamkan semua jurnalis, tetapi karena ia mengakui karya jurnalismenya berjudul “Jimmy’s World” yang dinobatkan sebagai penerima hadiah itu ternyata fiktif belaka.

Jimmy, tokoh yang diceritakan dalam feature sepanjang 18.000 karakter yang dipublikasikan di halaman depan The Washington Post pada 29 September 1980 (bersambung ke halaman dalam) itu, ternyata rekaan. Dengan sendirinya kisah hidup Jimmy yang mengharukan karena menjadi pemakai narkoba pada usia 8 tahun dan bercita-cita menjadi bandar narkoba yang sukses, juga rekaan.

Para jurnalis dunia kaget dan sangat terpukul dengan kejadian itu. Bagaimana mungkin The Washington Post terperdayai oleh sebuah cerita rekaan yang digarap dengan tingkat keseriusan luar biasa dari seorang penipu? Jika dilihat dari reputasi The Washington Post, mustahil hal seperti ini terjadi.

Para pengamat media pun menyikapi bahwa ini bukan cuma kesalahan Cooke, tetapi juga para pengambil keputusan di The Washington Post yang kurang control.

Bukan itu saja, panitia The Pulitzer Prize pun sangat terpukul. Penghargaan atas karya jurnalistik yang ternyata karya muslihat jurnalisme (deception in journalism) itu, meninggalkan coreng pada kredibilitas beberapa juri.

Periode itu ditandai sebagai periode terburuk dalam jurnalisme investigasi Amerika Serikat, sebuah situasi yang bertolak dari prestasi jurnalis Amerika Serikat dalam investigasi Watergate.

2

Kembali kepada pertanyaan mahasiswa tentang “demokrasi pemberitaan” media massa.

Dalam banyak hal, sejak reformasi bergulir, rakyat kita mengalami euforia demokrasi. Segala sesuatu harus demokratis. Jika tidak, apapun akan dilakukan untuk mewujudkannya. Dalam hal penyajian media massa, soal demokrasi pemberitaan itu menjadi subtansial. Jika tidak, masyarakat akan membuat vonis yang telak, yakni “menolak membaca media massa itu”.

Pertanyaan mahasiswa itu seperti ini. “Dalam berita Pilkada, kenapa tidak semua calon muncul. Yang muncul justru calon-calon yang mau memasang iklan.”

Tentu, jika dikaitkan dengan iklan, jawaban jelas: “pengelola media akan maju tak gentar membela yang bayar”. Siapa calon kepala daerah yang memasang iklan, sangat pasti frekuensinya untuk muncul dalam pemberitaan akan lebih tinggi. Selain karena pengelola media massa memfokuskan perhatian kepada calon pemasang iklan dengan menugaskan wartawan tertentu untuk memantau semua kegiatan kampanye politik, juga karena institusi media adalah institusi bisnis yang menjalankan bisnisnya dengan kesadaran penuh untuk menyervis klien.

Servis dalam bisnis media massa bentuknya berupa pemberitaan. Meskipun ini pikiran yang keliru, tetapi pemasang iklan akan merasa tersanjung. Maksudnya, tanpa memasang iklan semestinya pengelola media tetap memberitakan dengan porsi yang sama. Tapi, akibat para pemasang iklan tidak pernah berusaha memahami bisnis media massa, mereka pun menganggap pemberitaan sebagai servis.

Pemberitaan media bukan servis, tetapi menjadi subtansial dari kegiatan media. Jangan pernah memuji pemberitaan media dan merasa tersanjung hanya karena berita tentang Anda dibuat sedemikian bagus. Anda harus berpikir ulang, bahwa media massa sesungguhnya tidak sedang bicara apa adanya.

Media massa bukan hanya soal pemberitaan dan berita (informasi). Media massa berkaitan erat dengan komunikasi. Dan komunikasi bukan hanya informasi. Komunikasi adalah faktor yang sangat menentukan semua proses sosial dan komponen fundamental dari cara masyarakat di dalam oraganisasi sosial.



Jika media massa kita lihat sebagai persoalan komunikasi, sangatlah pasti bahwa media massa merupakan cermin masyarakatnya. Jadi, jika pengelola media massa tidak demokratis dalam pemberitaan, karena memang masyarakatnya menghendaki hal itu. Masyarakat ingin pengelola media hanya memberitakan tentang dirinya, meskipun untuk itu ia rela mengeluarkan sejumlah uang.

Sampai di sini, bisa kita tolak adagium bahwa media massa punya publik. Itu cuma bahasa para pengelola media untuk mendekatkan diri dengan masyarakat pembaca, meskipun isi pemberitaannya selalu menjauh dari realitas masyarakat pembacanya. Bagaimana mungkin media yang terbit di Lampung, misalnya, ternyata 80% pemberitaannya tentang hal-hal di lau Lampung? Dimana letak kepentingan publik dan penghargaan terhadap publik Lampung?

Jadi, media massa tidak akan bisa demokratis. Sebab itu, jangan bermimpi mengharapkan media massa akan membela masyarakat pembacanya. Masyarakat pembaca (yang juga membeli media massa) juga tidak akan dibela. Pengelola media massa hanya akan membela masyarakat yang mau membayar iklan.

3

Sebab itu, yang terpenting bukan mengharapkan media massa berikap demokratis. Tapi, bagaimana cara memanfaatkan media massa, membuat para reporter di lapangan tertarik dan berminat untuk memberitakan tanpa menyadari bahwa mereka sedang dimanfaatkan. “Kasih uang pasti diberitakan,” kata sebagian orang.

Tapi itu akan berdampak buruk.

Para reporter di lapangan, tidak semuanya menguber uang, baru mencari berita. Mereka yang profesional—yang jumlahnya sangat sedikit—lebih menempatkan mengejar berita sebagai pilihan utama. Meskipun di hadapan pemimpinya, mereka akan segera ditanya: “Ada iklannya nggak?”

Meskipun begitu, pertanyaan-pertanyaan yang beraroma uang seperti itu bisa dihindari dengan cara mengelola isu. Artinya, jika media memiliki agenda media, maka publik harus bekerja seperti media. Publik harus menciptakan agenda publik, lalu dikomunikasikan menjadi agenda media. Dengan begitu, media tidak punya alasan lagi untuk tidak memberitakannya.

Contoh kecil mungkin bisa belajar dari Partai Keadilan Sejahtera. Pada saat semua pengelola media massa kekurangan berita pada hari Minggu, partai ini justru acap menggelar kegiatan pada hari Minggu. Karena tidak ada bahan berita, mau tak mau pengelola media menjadikan kegiatan PKS sebagai berita.

Baca


Kamis, 13 Mei 2010

Dari Andal Sampai Handal

Lelaki tua itu handal berkelahi. Setelah menelikung tangan, ia menyocor lawannya ke tanah, lalu menghimpit kepalanya dengan lutut.



SEPINTAS wacana di atas tak keliru. Tapi coba perhatikan kata “handal” dan “himpit” atau penggunaan kata yang huruf awalnya diawali dari vocal “a”, “i”, “u”, “e”, dan “o”. Kata-kata berhuruf awal vocal acap dipergunakan dalam bahasa tulis maupun lisan, tetapi sering keliru penggunaannya.


Kekeliruan itu tidak cuma dilakukan masyarakat awam tata bahasa, semantik, dalam pergaulan sehari-hari, tetapi juga kalangan intelektual dalam makalah-makalah ilmiah mereka. Seolah ada konvensi baru, kata “andal” kemudian menjadi “handal”, kata “ubah” menjadi “rubah”, kata “usap” menjadi “husap”, kata “empas” menjadi “hempas”, kata “alang” menjadi “halang”, dan sebagainya.

Dalam sebuah lagu yang diciptakan Dewa dan dinyanyikan Once, kita menemukan kata “ubah” menjadi “rumah” dalam kalimat “tak akan mampu merubah perasaanku kepadamu”. Dalam sejumlah kalimat pada penulisan berita di media, acap kita temukan kata “andal” menjadi “handal”. Simak berita berjudul “E-goverment Belum Didukung SDM Handal” (diterbitkan di Antara News pada 8 Maret 2010):

“Bekasi (ANTARA News)- Pelaksanaan e-goverment di lingkup pemerintahan daerah belum sepenuhnya didukung oleh kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal, sehingga tidak berjalan maksimal.”


Pemakaian kata “handal” betul-betul menjadi baku. Padahal, kata yang benar adalah “andal” tanpa huruf “h”. Namun, lantaran terbiasa memakai kata “handal”, kemudian menjadi konvensi. Orang pun merasa janggal ketika memakai kata “andal”. Sama halnya dengan kata “impit”, “antar”, “anjung”, “andai”, “anduk”, “embus”, “empas”, “usap”, dan lain sebagainya, kita selalu menemukan penambah huruf “h” pada awal setiap kata dasar yang diawali dengan huruf vocal “a”.

Para sarjana acap melakukan kekeliruan ini. Beberapa kali mengeditori naskah-naskah skripsi, disertasi, dan tesis, saya selalu mengubah jika menemukan pemakaian huruf-huruf seperti di atas. Tapi, para dosen pembimbing selalu menyalahkan dan menilai kata dengan penambahan huruf “h” sebagai benar.

Pengalaman serupa juga saya temukan saat menyunting sejumlah naskah penelitian yang dilakukan rekan-rekan dosen. Naskah-naskah yang dipersiapkan untuk diterbitkan jurnal-jurnal ilmiah di institusi pendidikan tinggi itu, dipenuhi oleh kata yang tak saya temukan dalam kamus umum. Kata-kata yang hanya muncul dalam bahasa lisan, yang disampaikan seseorang hanya untuk tujuan: “yang penting komunikasi terjalin”.

Memang, pada naskah-naskah hasil penelitian, sering ditemukan kode-kode bahasa yang asing (alians code). Tapi, kode-kode bahasa itu menjadi asing karena berkaitan dengan istilah-istilah ilmiah yang belum bisa ditemukan padanannya dalam Bahasa Indonesia. Saya bisa memaklumi kode-kode bahasa seperti itu, meskipun para peneliti tetap harus tertib berbahasa dengan mengupayakan mencari padanan yang tepat.

Namun, sulit bagi saya memaklumi kesalahan-kesalahan penggunaan kata seperti yang disinggung pada awal tulisan ini.

Kesalahan penggunaan kata dengan mengubah huruf, sesungguhnya tidak bisa diterima. Perbuatan itu bukan saja menyebabkan Bahasa Indonesia menjadi sangat buruk, tetapi juga menghilangkan akar Bahasa Indonesia sebagai bahasa Melayu.

Ketika mendengarkan percakapan antara Upin dan Ipin dalam film animasi buatan Malaysia, secara mendadak saya merasa ada banyak kosa kata dalam Bahasa Indonesia yang “dihilangkan”, “tidak dipakai”, atau “punah” secara sengaja. Kosa kata yang justru dipergunakan oleh Upin, Ipin, dan tokoh-tokoh lain dalam film animasi itu. Kosa kata yang membawa ingatan saya pada masyarakat pesisir Melayu di Belawan, Tanjung Balai, Kisaran, Medan, Batubara, dan lain sebagainya.

Kosa kata itu, salah satunya, kata “kali”. Kata ini tak cuma bermakna sebagai operasional matematika.
Baca


Sabtu, 01 Mei 2010

Workshop untuk Meningkatkan Kemampuan Menulis


Sekolah Jurnalisme Lampung memiliki Program berupa memberi pelatihan jurnalistik dan media yang dikhususkan bagi berbagai kalangan.


Workshop Media Journalism for Corporate

Kita bersepakat, kemampuan menulis sangat penting bagi setiap karyawan dan professional.

Menulis surat, proposal, laporan, rencana kerja, buku panduan, artikel, press release, bulletin, makalah, dan publikasi lain merupakan sebagian dari kegiatan-kegiatan rutin perusahaan. Kegiatan yang tampak sepele ini justru memiliki dampak sangat besar terhadap proses program,
termasuk dalam mengambil keputusan.

Akan tetapi justru kemampuan ini pulalah yang paling jarang ditingkatkan. Stigma yang melekat kuat adalah “menulis itu sulit dan saya tidak bisa”.

Muncullah perilaku menunda, minta bantuan orang lain, kesal, atau terpaksa. Ujung-ujungnya aktivitas program jadi terganggu karena konsep belum selesai, laporan selalu terlambat, dan manajer terpaksa “membantu” pekerjaan sekretaris dalam merancang surat-surat.

Apalagi menulis untuk media instansi dan perusahaan. Persoalan klasik yang masih sering dihadapi adalah rendahnya kontribusi karyawan dalam menyumbangkan naskah serta betapa sangat rendahnya kualitas naskah yang tampil, baik dari segi jurnalisme maupun kaidah-kaidah berbahasa.

Kesulitan paling mendasar biasanya adalah menulis dan menyunting naskah. Padahal melatih kemampuan menulis sebetulnya tidaklah terlalu sulit. Pengalaman kami dalam memberikan bimbingan dan pelatihan kepada
berbagai kalangan menunjukkan bahwa ketrampilan ini bukan bawaan (bakat) melainkan betul-betul hasil dari sebuah proses pembelajaran.

Karena itu untuk lebih meningkatkan kemampuan menulis (secara umum) sekaligus menambah wawasan jurnalistik bagi para penulis, kontributor, penyunting dan pengelola media internal di lingkungan instansi/perusahaan, kami menggelar Program Workshop Media Journalism for Corporate.

Workshop berlangsung intensif selama 2 hari berupa pemberian materi , ditindaklanjuti dengan program pendampingan penulisan dan konsultasi naskah selama 2 bulan.

Tujuan Workshop

1. Peserta mampu mengatasi berbagai hambatan dalam menulis sehingga mampu menulis dan mampu menyunting dengan baik, demi kelancaran pekerjaan di kantor maupun dalam rangka menulis naskah untuk media internal instansi/perusahaan.

2. Peserta memiliki pengetahuan dasar-dasar jurnalistik, sehingga mampu
membedakan cara-cara penulisan berita, press release, artikel, feature, laporan maupun naskah wawancara. Pengetahuan ini diperlukan baik oleh penulis dan kontributor dari berbagai unit kerja yang ikut berpartisipasi dalam menulis di media internal, apalagi oleh para anggota tim-redaksi dan staf kehumasan.

Tahapan Program
Bagaimanapun meningkatkan keterampilan menulis tentu membutuhkan latihan. Oleh karena itu, program ini akan berlangsung dalam 2 tahap:

Tahap 1, Workshop Menulis dan Jurnalistik, berlangsung selama 2 hari
Materi yang disampaikan meliputi berbagai teknik menulis, cara mengatasi hambatan penulis, kriteria berbagai naskah jurnalistik (berita, artikel atau feature), bahasa jurnalistik, teknik menyunting naskah dan praktek penulisan/editing.

Tahap 2, Program pendampingan dan konsultasi naskah selama 2 bulan.
Setiap peserta dilayani secara personal, dalam menggagas dan menulis naskah, menata dan menyunting naskah, sehingga peserta betul-betul mampu menghasilkan naskah yang layak terbit dan dibaca banyak orang.

Materi Workshop

Sesi-1 : Teknik Menulis dan Menemukan Gagasan

a. Menggagas Ide (Clustering)
b. Memilih Sudut Pandang (Angle)
c. Mengatasi Hambatan Menulis (Free Printing)
d. Latihan Menggagas Ide dan Angle
e. Latihan Menulis/Meramu Naskah

Sesi-2 : Teknik Revisi & Editing

a. Mengemas Naskah (Revisioning)
b. Membaguskan Naskah (Copy Editing)
c. Fog Index (mengukur kemampuan berbahasa)
d. Latihan Memperbaiki Alur (jalan pikiran)
e. Latihan Menyunting (logika bahasa dan rasa bahasa)

Sesi-3 : Pengetahuan Jurnalistik

a. Berita & Press Release
b. Reportase, wawancara, dan liputan
c. Menulis Artikel & Feature
d. Bahasa Jurnalistik

Sesi-4 : Latihan & Konsultasi

a. Praktek Wawancara
b. Praktek Menulis Berita & Press Release
c. Praktek Menulis Artikel & Feature Pendek


Pasca-Workshop

Setelah workshop 2 hari selesai, dilanjutkan dengan program layanan selama 2 bulan dalam bentuk Bimbingan & Konsultasi Penulisan, yaitu :

1. Setiap peserta akan dibimbing/dilayani secara personal dengan menggunakan email sebagai sarana komunikasi dan lalu lintas naskah

2. Naskah yang dibuat peserta ditulis dengan format Microsoft Word, sehingga memudahkan editor dalam memberikan advis-advis perbaikan dan contoh editing.
(MS Word memiliki fasilitas “track changes” yang terlihat langsung dalam naskah tersebut) sehingga para peserta akan langsung menyerap proses learning by doing.

3. Naskah yang dijadikan media-pembelajaran bisa jadi masih naskah yang sama sampai beberapa kali perbaikan. Tujuannya agar setiap peserta mengalami prosesnya, menyadari tahapan-tahapan kemampuan yang dia lalui, sampai akhirnya kemampuan tersebut meng-internal ke dalam dirinya.

4. Advis-advis perbaikan, konsultasi naskah dan pembahasan contoh editing yang kami berikan akan disesuaikan dengan tahapan-tahapan kemampuan peserta.

Pemandu Materi

Dalam workshop ini kami tidak menggunakan banyak pembicara, sebab tujuannya sangat spesifik dan agar materi tersajikan secara sinambung dan terintegrasi.

Peserta akan kami berikan beberapa nama calon pemandu dan peserta boleh menentukan akan dipandu oleh siapa.

Baca


Jumat, 30 April 2010

Survey: Masa Depan Jurnalis Online Lebih Jelas


Jurnalis yang bekerja online lebih optimis tentang masa depan profesi mereka daripada jurnalis yang terikat dengan platform media tradisional. Menurut survei terbaru Asosiasi News Online diproduksi oleh Pew Research Center’s Project for Excellence in Journalism para jurnalis online juga berkeyakinan bahwa internet akan mengubah nilai-nilai fundamental jurnalisme menjadi lebihbaik dari kondisi media tradisional.


Overall, the online journalists surveyed are less likely to think journalism is headed in the “wrong direction” than are journalists from legacy media. They are also more confident than they are pessimistic that online news will find a self-sustaining revenue model.

Contrary to current economic trends in the news industry, most report staff increases and are seeing their sites turn a profit—though this is still heavily influenced by how costs are accounted for.

But these economic hopes, while encouraging, are still largely pinned on Web advertising, whose revenues in news began flattening out in 2008.

When it came to the impact of the Internet on values, the most cited change was a loosening of standards and more carelessness in online news gathering.

Those journalists surveyed, who come largely from websites linked to legacy media, also believe the Web is changing the fundamental values of the journalism—mostly for the worse. In particular, they are worried about declining accuracy, in part due to the emphasis online that news organizations are putting on speed and breaking news.

But not all of the changes were considered worrisome. Some journalists praised the growing diversity of voices, the potential of technology, and in some cases, even the move toward more overtly ideological points of view at news sites.

“I think there’s a huge potential in online journalism, but there’s also a lot of scary stuff out there . . . We have to try to not lose our way,” said one member who, as a part of a three-person operation, does everything from handling tech problems to social media posts to original reporting.

“It’s a good feeling to work in a part of the industry that has hope for the future,” offered another.

These are some of the findings of a survey of nearly 300 members of the Online News Association (ONA), produced jointly with the Project for Excellence in Journalism (PEJ), which drafted the questionnaire. Princeton Survey Research Associates administered the survey.

The findings represent the first-ever survey of journalist members of ONA, the largest organized association of digital journalists.1 The majority of those surveyed work for websites tied to legacy media and most have more than 11 years experience in a newsroom setting.

We do not assume that these results represent the views of all of people in new media, but 10-year-old ONA, with nearly 1,800 members, offers useful insights into how digital journalism is being practiced.

Among the findings:

*A solid majority of those surveyed (57%) say the Internet is “changing the fundamental values of journalism.” The biggest changes, the respondents said, were a loosening of standards (45%), more outside voices (31%) and an increased emphasis on speed (25%).

*When asked what online journalism is “doing especially well these days,” more named aspects of technology like using advancements well (31%) or speed (30%) than named reporting skills like improving storytelling (16%) or exploiting the potential for greater depth (12%).

*Six in 10 (63%) of respondents ranked original reporting as the most important type of information they produce. This was more than four times as much as the second-most important information type: aggregated material from wires and other legacy outlets (13%).

*For the most part, online journalists say they have been spared the kinds of staff cutbacks their legacy brethren experienced in 2008. Many (39%) reported staff increases compared with a year earlier. Another third said their staff numbers have remained the same. Less than a quarter (23%) saw staff decreases.

*Despite current trends, most of these online journalists are pinning their hopes in the future on advertising. Roughly two-thirds of these online journalists predicted advertising would be the most important form of revenue at websites three years from now. Only a quarter of respondents named some other new revenue model.

You can read again here
Baca


Kamis, 29 April 2010

Undangan Menulis


Sekolah Jurnalisme Lampung mengundang Anda (jurnalis maupun bukan jurnalis) menulis liputan jurnalistik tentang realitas kehidupan masyarakat Lampung dari segala dimensi sosial, politik, ekonomi, budaya, dan hak asasi manusia yang bernuansa human interst untuk website berita yang kami kelola. Sementara kami menggunakan www.sekolahjurnalistiklampung.blogspot.com.


Boleh membuat tulisan berkepanjangan (tak dibatasi) asalkan berkaitan dengan tema liputan. Semua tulisan akan diseleksi Tim Editor dari kalangan jurnalis, praktisi, dan dosen untuk meneliti kelengkapan isi karya jurnalistik dari aspek Code of Journalism.

Kami memiliki motto: "Semua hal dapat dibuat jadi karya jurnalistik, tetapi tidak semua tulisan merupakan karya jurnalistik".

Setiap tulisan yang kami muat, akan kami beri honorarium yang pantas. Penulis yang karyanya kami muat akan kami nobatkan sebagai kontributor dan memperoleh hak siar atas karya-karya jurnalistiknya.

Sekolah Jurnalis Lampung merupakan lembaga pendidikan dan pelatihan jurnalistik sekaligus institusi sindikasi penulisan yang menyediakan ragam feature dan liputan jurnalistik mendalam tentang segala sesuatu berkaitan dengan kehidupan masyarakat di Provinsi Lampung.

Kami melayani permintaan user dari kalangan pengelola media massa cetak berupa surat kabar, majalah, tabloid, buletin, jurnal, buku yang ada di Provinsi Lampung maupun di luar Provinsi Lampung.

Semua tulisan diketik 1 spasi, dikirim dalam file terpisah ke email Sekolah Jurnalisme Lampung sj.lampung@yahoo.com. Anda berhak menggunakan nama alias. Terakan biografi lengkap, alamat, nomor telepon atau email yang bisa kami hubungi, dan nomor rekening untuk pengiriman honorarium.

Hak siar atas karya jurnalistik Anda yang dimuat di website ada pada Anda.

Baca


Samsat Corner, Mengutif Pajak di Supermarket


Samsat Corner memutus rumit dan bertele-telenya birokrasi pembayaran pajak kendaraan bermotor.



Budi Hutasuhut | Dipublikasikan di Tabloid Lantas edisi Minggu III April 2010

Hampir sejam Sumarni (54) dan suaminya, Marzuki (57), keliling di dalam lingkungan Supermarket Chandra Tanjungkarang, Kamis (22/4), untuk mencari kantor Samsat Corner. Penduduk Way Laga, Panjang, itu nyaris putus asa dan batal membayar pajak sepeda motornya. “Untung ada petugas satpam untuk bertanya,” kata Sumarni saat ditemui di depan Samsat Corner Chandra Tanjungkarang, menunggu jam istirahat petugas selesai.

Samsat Corner berada di lantai dasar Supermarket Chandra Tanjungkarang, tersembunyi di tempat parkir sepeda motor. Sebuah ruang berukuran 4x6 meter, berkaca rayband dan hanya ada tulisan Samsat Corner pada neon box sebagai petunjuk bahwa tempat itu bukan out let pedagang.

Tidak ada petunjuk lain di halaman Supermarket Chandra Tanjungkarang, sehingga mereka yang belum pernah ke sana akan kesulitan mencarinya.

Sumarni dan suaminya berpengalaman soal betapa sulit mencari lokasi tempat pembayaran pajak kendaraan bermotor itu. Sempat ke lantai dua Supermarket Chandra karena tidak ada petunjuk dimana lokasi Samsat Corner, suami istri yang jarang keluar dari kampungnya yang terpencil, akhirnya mestinya melihat-lihat barang yang dijual di super market itu.

“Saya baru dengar kalau di sini bisa bayar pajak motor. Mending di sini, lebih dekat dari rumah saya,” kata Sumarni.

Selama ini Sumarni membayar pajak sepeda motor ke Rajabasa dan ia harus menghabiskan satu hari penuh untuk mengurus pajak. “Saya dengar di sini bisa lebih cepat,” katanya.

Maryani, wajib pajak dari Rajabasa, mengaku baru pertama membayar pajak di Samsat Corner. Meskipun di daerahnya, Rajabasa, ada kantor pusat Samsat, dan Maryani selalu membayar pajak kendaraan bermotor di tempat itu, tetapi kali ini ia ingin mencoba di Samsat Corner. “Kebetulan saja saya sedang belanja, dan sejak dari rumah memang berniat mau bayar pajak. Rencana awal di Rajabasa, tapi saya coba dulu di sini,” katanya.

Ada empat petugas di Samsat Corner: tiga sipil dan satu polisi. Setiap hari, empat petugas berganti-ganti. Selalu dengan komposisi: tiga sipil dan satu polisi. Keempat petugas duduk menghadap ke pintu, dipisahkan oleh meja pelayanan dengan tempat tunggu wajib pajak yang duduk pada dua jajaran bangku tunggu di dalam ruang ber-AC.

“Di sini tak pernah antre. Kami melayani pembayaran pajak seperti Kantor Samsat lainnya,” kata salah seorang petugas berseragam polisi. “Tapi, tolong, saya tidak bisa memberi informasi. Bapak kan tahu soal itu”

Samsat Corner merupakan program baru dari pemerintah daerah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat yang ingin membayar pajak kendaraan bermotor. Samsat Corner ini berfungsi sebagaimana Kantor Sistem Administrasi Manunggal di bawah Satu Atap (Samsat) Provinsi Lampung untuk lebih menggalakan partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dengan cara menjemput bola.

Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Provinsi Lampung, Heru Karwadji, di Bandarlampung, beberapa waktu lalu, mengatakan Samsat Corner bentuk baru dari pelayanan pembayaran pajak kendaraan yang dilakukan di pusat perbelanjaan dan mal. Selain di Supermarket Chandra, Samsat Corner juga hadir di Mal Kartini. “Semua tempat belanja yang banyak dikunjungi wajib pajak akan muncul Samsat Corner,” katanya.

Samsat Corner dibuka di Pusat Perbelanjaan Chandra Tanjung Karang, beroperasi setiap
hari pada saat jam buka mal, yaitu antara pukul 09.00 WIB hingga 21.00 WIB.

"Semuanya tanpa dipungut biaya tambahan, karena jumlah pajak yang akan dibayarkan,
langsung disetorkan sendiri oleh wajib pajak melalui ATM BRI. Samsat Corner melayani segala pembayaran pajak kendaraan roda dua, mini bus, sedan, bus, termasuk perpanjangan SIM, STNK, dan BPKB," kata dia.

Samsat Delivery

Selain Samsat Corner, ada juga program Samsat Delivery. Program ini berupa pengurusan pembayaran pajak kendaraan dengan mendatangi wajib pajak pada wilayah tertentu.

Samsat Delivery adalah bentuk lain dari pelayanan pembayaran pajak, dengan sistem delivery order, atau sistem antar pesan dengan memanfaatkan teknologi komunikasi. "Apabila ada wajib pajak kendaraan, yang sibuk padahal pajak kendaraannya sudah hampir jatuh tempo, dapat menghubungi call center samsat Lampung untuk minta diurusi pembayaran pajaknya," kata dia.

Pada pelayanan Samsat Delivery, petugas yang dihubungi akan mendatangi wajib pajak dan menerima penyerahan BPKB, atau SIM yang ingin diperbaharui. Kemudian, SIM atau BPKB yang hendak diperbaharui dibawa ke kantor Samsat oleh petugas untuk diproses, dan diberikan kepada wajib pajak pada keesokan harinya.

"Untuk layanan ini, tidak ada biaya tambahan, dan jumlah yang dibayar wajib pajak sama
dengan jumlah yang tertulis di atas Surat Pajak kendaraan," kata dia.

Kehadiran Samsat Corner dan Samsat Delivery diharapkan dapat memotong birokrasi sehingga masyarakat yang ingin membayar pajak merasa dilayani. Dalam sistem yang baru ini, petugas tidak memegang uang tunai, semua pembayaran dilakukan via rekening dengan menggunakan ATM BRI.

Samsat merupakan kerjasama sama meliputi pelayanan untuk menerbitkan STNK dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor yang dikaitkan dengan pemasukan uang ke Kas Negara baik melalui Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, dan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLJJ).

Polri memiliki fungsi penerbitan STNK, Dinas Pendapatan Provinsi Lampung menetapkan besarnya Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB), sedangkan PT Jasa Raharja mengelola Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ).


Baca


Pers sebagai Tukang Pos Pemerintah

Pers bagi Gubernur Lampung Sjachroeddin ZP merupakan "tukang pos" pejabat pemerintah. Sebagai tukang pos, pejabat pemerintah harus menyampaikan apa saja kepada pers agar mudah sampai kepada atasannya.

"Pers mampu menyampaikan dan melaporkan apa saja yang dilakukan pemerintah melebihi kemampuan sepucuk laporan yang diberikan seorang pejabat pemerintah kepada atasannya," kata Sjachroeddin ZP saat dicegat wartawan di halaman Gedung Pusiban seusai membuka Seminar Kriminalisasi Pers yang ditaja PWI Cabang Lampung, Senin (28 April 2010).
Baca


Senin, 05 April 2010

Sekolah Jurnalistik Lampung

Sekolah Jurnalistik Lampung sebuah institusi pendidikan jurnalistik yang bermarkas di Lampung. Kegiatannya berupa program-program pelatihan jurnalistik keliling SMP, SMA, dan kampus di seluruh wilayah Lampung.

Institusi ini sudah dibangun dan dikelola kalangan profesional jurnalis dan dosen komunikasi sejumlah perguruan tinggi di Lampung.
Baca